tag:blogger.com,1999:blog-54937894818906185082024-03-06T13:53:27.330+07:00Against The WindIt Ain't Over Till The Fat Lady SingAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.comBlogger43125tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-37658895265067582392016-10-10T16:49:00.000+07:002016-10-10T16:49:19.287+07:00Soal Perpisahan Sekolah<br />
Beberapa waktu lalu saya diminta menjadi wakil dari orang tua siswa dalam acara kelulusan sekolah dimana anak pertama kami menuntut ilmu. Ini judulnya dibuang sayang, jadi saya share isi speech yang saya sampaikan di acara tersebut, pertengahan Juni lalu itu.<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWbxNhCf_9RBwv5uSPFCc_BlF8q-x0BW2LBlkXjqV7lbXMAsgxU2T5NSKYmCRpn4kWYlQMBs9-HhVxn5sbbmPLDgyLjRcyJTM_4Z48izTeNtjZNXELPEJFjC7uqzJMSWGxhatIfK4YN0ln/s1600/Screen+Shot+2016-10-10+at+4.46.21+PM.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWbxNhCf_9RBwv5uSPFCc_BlF8q-x0BW2LBlkXjqV7lbXMAsgxU2T5NSKYmCRpn4kWYlQMBs9-HhVxn5sbbmPLDgyLjRcyJTM_4Z48izTeNtjZNXELPEJFjC7uqzJMSWGxhatIfK4YN0ln/s640/Screen+Shot+2016-10-10+at+4.46.21+PM.png" width="510" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Itu dia, Have a nice day </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-88296090497654714872016-10-07T14:02:00.004+07:002016-10-07T14:04:00.751+07:00SELEBRITI, POLITISI DAN DEMOKRASI PANGGUNG<div style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Siang itu jerit histeris anak –
anak dara usia belasan tak terbendung. Telepon – telepon pintar diaktifkan
untuk merekam gambar dan memfasilitasi gelombang ajakan <i>wefie</i>. Di salah
satu sudut SMAN 2 Palu mereka berkumpul dalam setengah lingkaran. Ditengah –
tengah, hadir sosok sang idola, biduan kenamaan Indonesia, Sigit Purnomo Said
alias Pasha. Dengan setelan batik kasual dan pantolan santai khas anak muda,
Pasha bernyanyi dan bertukar sapa dengan adik – adik satu almamaternya
tersebut. Ya, pria berusia 35 tahun itu memang menghabiskan pendidikan lanjutan
atasnya disekolah ini. Sedianya acara ini adalah jawaban dari undangan sebuah
organisasi siswa disekolah itu namun buat <i>frontrunner</i> Band Ungu tersebut,
even ini lebih dari sekedar reuni atau acara sambung rasa antar angkatan biasa.
Hari itu Pasha tengah melakukan kerja politiknya, memperkenalkan diri sebagai
bakal kandidiat politik ke kalangan pemilih pemula. Selain mengunjungi SMAN 2, ia
juga bertandang ke Pasar </span><span lang="IN" style="background: white; color: #333333; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Masomba, pusat jual beli warga Palu. Para pedagang dan
pembeli yang terkejut menyambut kedatangan pesohor kondang ini antusias minta
bersalaman atau berfoto bersama. Lebih terkejut lagi mereka ketika Pasha
menuturkan hasratnya yang hendak maju sebagai calon Walikota. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="background: white; color: #333333; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sejak
tahun lalu, Pasha memang sudah berniat melakukan lompatan besar dari habitat
awalnya sebagai penghibur ke panggung politik. Pagi – pagi ia sudah
mendaftarkan diri ke Partai Demokrat dan PDI-P sebagai bakal calon walikota
Palu periode 2016-2021. Konon kabarnya, ia juga sudah sempat mendapat restu
dari Hatta Radjasa ketika masih menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional untuk
memperoleh tiket ikut kontes politik yang sama. Bertarung di Palu juga bukan
sekedar asal pilih, tetapi karena latar belakang sejarah hidupnya yang lahir
dan besar di Donggala. Jika benar nasib Pasha moncer untuk ikut Pemilukada
Palu, maka namanya akan masuk dalam jajaran bintang – bintang yang sudah mulai digadang
ikut pemilihan kepala daerah yang rencananya akan digelar serentak akhir tahun
ini. Beberapa nama yang sudah santer disebut – sebut antara lain Ahmad Dhani
pentolan Republik Cinta Management yang akan maju di Pilwali Surabaya dan
advocat Farhat Abbas di Bogor. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Keikutsertaan
para seleb di kompetisi politik praktis bukan hal baru dan tidak juga istimewa.
Namun demikian, keterlibatan mereka di kancah itu tetap menarik untuk dicermati
dan menggoda untuk dianalisis. Pasalnya, persepsi umum kita cenderung
distortif, karena menganggap para pesohor ini tidak sedang berkubang di dunia
mereka. Apriori dan skeptisime kemudian menjadi landasan penilaian kita. Oportunis,
banting setir karena <i>job</i> mulai sepi, avonturir dan sejumlah label miring
lainnya tak segan kita sematkan buat mereka. Padahal penilaian itu juga belum
tentu benar adanya. Ya maklum saja, semuanya berawal dari prasangka. Sebelum
kita lebih jauh membahas soal ini, mari kita batasi objek pembahasannya. Secara
sederhana, David Marshall dalam bukunya </span><em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Celebrity
and Power</span></em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">:<span class="apple-converted-space"> </span><em><span style="font-family: "tahoma"; mso-bidi-font-style: normal; mso-bidi-font-weight: bold;">Fame in Contemporary
Culture</span></em><em><span style="font-family: "tahoma"; font-style: normal;"> mendefinisikan selebriti sebagai mereka yang karena
posisinya, kerap tampil lewat media massa, menikmati liputan yang luas dimana kebanyakan
dari kita menyaksikannya. Sehingga keterpaparan oleh media niscaya jadi senjata
utama. Tanpa bermaksud mengurangi nilai penting media lain, televisi merupakan
media yang dimasa ini paling efektif untuk membentuk sesorang menjadi
selebriti. Mungkin karena </span></em><em><span style="font-family: "tahoma"; mso-bidi-font-style: normal; mso-bidi-font-weight: bold;">nature</span></em><em><span style="font-family: "tahoma"; font-style: normal;">
televisi sebagai kanal komunikasi khalayak, mampu menghadirkan citra audio
visual yang komprehensif, kelebihan yang tidak dimiliki media konvensional
lain. Memang peran media baru dan media sosial kian mengemuka, namun belum
benar – benar dapat diandalkan untuk kepentingan kampanye dan jualan citra,
mengingat akses kepadanya masih relatif </span></em><em><span style="font-family: "tahoma"; mso-bidi-font-style: normal; mso-bidi-font-weight: bold;">costly </span></em><em><span style="font-family: "tahoma"; font-style: normal;">dan
terbatas.<o:p></o:p></span></em></span><br />
<span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><em><span style="font-family: "tahoma"; font-style: normal;"><br /></span></em></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; font-style: normal; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kemudian kita masuk kedalam
kategorisasi selebriti. Menurut Darell West dan John Orman, dalam buku </span></em><em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Celebrity
Politics</span></em><em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; font-style: normal; line-height: 150%;">, selebriti dapat dipilah menjadi 5 kelompok besar.
Pertama, </span></em><em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Celebrity by DNA</span></em><em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; font-style: normal; line-height: 150%;">, mereka yang
terlahir sebagai selebriti. Misalnya putra-putra keluarga Kennedy. Di Indonesia
padanannya bisa putra-putri mantan Presiden. Mereka adalah orang – orang yang
menikmati popularitas tanpa harus melakukan kerja apapun terlebih dahulu. Kedua
mereka yang terlibat dalam sebuah skandal, misalnya Maria Eva, Vicky Prasetyo
dan lain – lain. Ketiga, mereka yang karena penampilan kharismatiknya menyihir
para pemirsa. Yang ini mudah contohnya, Jokowi. Kemudian ada pula mereka yang
beranjak dari dunia showbiz dan olahraga untuk kemudian menjadi selebriti
didunia itu karena prestasi mereka. <o:p></o:p></span></em><br />
<em><span lang="IN" style="background: white; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; font-style: normal; line-height: 150%;"><br /></span></em></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Dalam dunia politik kontemporer Indonesia,
kita menemukan adanya tiga tipe selebriti politik. Pertama dari dunia showbiz yang
mencoba bertarung sebagai kanidiat politik. Kedua, politisi yang mencoba
menjangkau level popularitas setingkat selebriti untuk meraih jabatan politik.
Diantara keduanya terdapat para pesohor yang karena popularitasnya menjadi <i>vote
gather</i> untuk kemenangan seorang calon.</span><span lang="IN" style="font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"> Tiga pihak ini bergerak dengan dua k<span style="color: black;">ata kunci: popularitas dan kekuasaan. Dua status yang
begitu menggiurkan untuk kebanyakan manusia.<span style="mso-spacerun: yes;">
</span><o:p></o:p></span></span><br />
<span lang="IN" style="font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="color: black;"><span style="mso-spacerun: yes;"><br /></span></span></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Mari
kita bicara fakta. Demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana seluas – luasnya
publik (tidak bisa seluruhnya, karena selalu ada mereka yang merasa tidak perlu
atau pada suatu titik tak terjamah) berpartisipasi secara aktif dalam
pelaksanannya. Karena tidak mungkin seluas – luasnya publik tersebut terlibat
langsung dalam sistem pemerintahan, maka dibuatlah cara pendelegasian wewenang
publik itu kepada pihak – pihak yang dapat mewakili mereka. Legitimasi konsep
keterwakilan ini kemudian diterapkan melalui cara pemilihan. Sejauh ini di
Indonesia, sifatnya masih langsung. Dalam skala negara, memilih wakil baik untuk
domain eksekutif atau legislatif membutuhkan pendekatan yang lebih rumit.
Karena tidak seperti memilih ketua rukun tetangga, akses pemilih untuk mengenal
dekat secara pribadi para kandidat hampir tidak mungkin. Disini kemudian peran
poularitas memegang peranan penting. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Jika kita mengelompokkan pemilih
berdasarkan perilaku memilih mereka, maka kita dapatkan 3 kelompok besar.
Pemilih Rasional, pemilih Tradisional/Kultural dan pemilih Emosional. Pemilih
rasional adalah pemilih yang benar – benar memperhatikan bahwa hak pilihnya
sangat penting dan tak mau menyia-nyiakannya dengan memilih kandidat tertentu
secara gegabah. Kelompok ini benar – benar mencari tahu rekam jejak semendalam
mungkin setiap sosok yang menjadi opsi. Mereka tidak akan jatuh tersugkur takjub
pada kemasan dan pencitraan dari calon belaka dan tidak akan pernah berhenti untuk
menggali, sampai semua parameter – parameter yang dipakai untuk menentukan
pilihan lengkap. Perilaku pemilih ala Anthony Downs ini begitu berhati – hati
sampai tak sedikit yang akhirnya menyobek kartu pemilih mereka, jika dirasa
para kandidat rata – rata mengecewakan atau tidak ada calon yang benar – benar
layak dipilih.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-spacerun: yes;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Pemilih Tradisional/Cultural
melandaskan pilihan pada hal – hal yang secara tradisi diterapkan. Misalnya
memilih kandidat dari partai tertentu, karena memang sudah menjadi kelaziman
dalam keluarga. Di kelompok ini, peran pemimpin untuk menentukan siapa yang
dipilih menjadi sangat dominan. Di level keluarga mungkin si kepala keluarga
sementara di tingkat komunitas adalah para sesepuh. Sehingga jika kepala suku,
pemuka agama atau tokoh masyarakat menentukan pilihan mereka, maka dengan
sendirinya komunitasnya akan mengikuti. Menyimpang dari pilihan tersebut
dianggap membangkang, kualat dan konsekuensinya bisa saja tidak membuat nyaman
buat si individu. Dalam perjalanan peradaban manusia, jumlah pemilih yang
tergabung dalam kelompok ini relatif akan menyusut. Seiring<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kian majunya sebuah peradaban, ketergantungan
manusia pada kelompok akan semakin berkurang. Penyebabnya ada pada pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan bidang teknologi yang membuat manusia menjadi semakin
mandiri dan kurang bergantung pada orang lain. Kondisi ini juga akan membuat
cepat atau lambat mereka akan menjadi mandiri atas pilihan – pilihan politik mereka.
Namun ini berjalan secara gradual, tidak langsung melompat ke kelompok rasional.
Mereka harus melalui transisi ke kelompok emosional terlebih dahulu.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kelompok
pemilih emosional adalah kelompok yang paling rentan dipengaruhi. Meski telah
mandiri namun guna memilih dengan tepat mereka masih membutuhkan panduan. Sedangkan
untuk mendapat pemahaman melalui proses pencarian, pengumpulan dan penyaringan
informasi mereka belum mapan. Ujungnya, pada fase metamorfosis perilaku memilih
dari “bergantung” menjadi “merdeka” para pemilih di kelompok ini mengandalkan
rasa sebagai parameter. Tak aneh karenanya, pada ranah ini pemilih bisa berayun
dari pilihan yang satu ke pilihan yang lain dengan sangat mudah. <i>Swing voter</i>,
istilahnya populernya, adalah bentuk kegamangan dalam memilih, pindah dari satu
opsi <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>ke opsi berbeda karena pegangan
ideologis yang tidak ajeg atau miskinnya bekal informasi terhadap pilihan –
pilihan. Sekali lagi, rasa terhadap calon menjadi alat sensor utama, ketimbang secara
aktif melakukan pengukuran aspek – aspek instrumental dari seorang kandidat
seperti kemampuan memimpin, kemampuan pengambilan keputusan, kecakapan
menguasai bidang – bidang kebijakan publik dan seterusnya. Pemilih pada
kelompok ini lebih menitikberatkan aspek – aspek ekspresif seperti yang
disampaikan Geoferry Brenann, dimana pemilih lebih tertarik atas apa yang
dipilihnya ketimbang hasil dari jika pilihan tersebut terwujud. Artinya konsep <i>like
and dislike</i> sangat mempengaruhi. Kandidat bisa saja terpilih karena lebih
tampan dibanding lainnya, lebih ramah dibanding yang lainnya, lebih santun dan
seterusnya. Di Indonesia, kita menyaksikan aspek ekspresif yang dijadikan
standar bagi pemilih berubah dari masa ke masa. Ada masa dimana sosok calon
pemimpin yang sarat nuansa aristokrasi mengemuka. Yang gayanya kelurah-lurahan,
cerdas, santun, bertutur kata teratur, rapi dan cermat lebih disuka. Dalam
perjalanan waktu kemudian, yang demikian dirasa tidak lagi memberikan bukti
atas perubahan yang diharapkan, maka sosok dengan imaji seperti itu
ditinggalkan. Sebab pemilih merasa tipologi pemimpin gaya konvensional dan
klasik seperti itu, ibarat ningrat yang sama sekali tidak paham apa yang jadi
aspirasi, keluh dan harapan publik. Pemimpin seperti itu sangat berjarak dengan
realitas di akar rumput. Maka muncul harapan, jika saja ada calon pemimpin yang
benar – benar seperti “kita”, berbicara gaya “kita”, berpakaian seperti “kita” mungkin
akan memahami apa yang rakyat mau, karena ia tidak akan hanya hinggap di
singgasananya di awang – awang. Dia akan ada diantara kita, duduk dikursi yang
sama, minum dari gelas yang serupa dan menghirup aroma egaliter yang sama.
Sosok seperti itulah yang mungkin lebih pas sekarang ini. Sekali lagi, memilih
yang kelurah – lurahan atau yang sama dengan “kita” bukan beranjak dari aspek –
aspek rasional-instrumental, tetapi lebih kepada citra emosional-ekspresif. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Para akademisi bidang politik
sepakat kelompok pemilih emosional masih relatif banyak jumlahnya pada negara
yang menerapkan sistem demokrasi liberal seperti Indonesia di era ini. Dan pada
kelompok ini pulalah kandidat – kandidat dari kalangan selebriti potensial
mendulang kemenangan. Budaya populer tidak berkembang sebagai sebuah fenomena
komunal dengan landasan logika. Ia tumbuh dan berkembang sebagai buah dari
ketertarikan, kekaguman, kemabukkepayangan massa, yang berujung pada
pengidolaan, pendambaan sampai pengagungan obyek sosial.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kalangan
selebriti memiliki keunggulan kompetitif jika dibandingkan kandidat lain yang
berasal dari politisi profesional. Budaya populer yang berkembang di masyarakat
membuat mereka mudah melakukan pendekatan. Kombinasi antara ketenaran, kesan
glamor dan keinginan penggemar untuk dekat dengan idolanya membuat mereka
memiliki kesempatan menjadi kandidat sukses. Mereka juga tidak perlu berjibaku
menaiki tangga hirarki partai untuk mendapatkan tiket menuju kontes politik,
tidak seperti kader partai lainnya. Selain itu menurut Darell West, tak jarang selebriti
dipotret bagaikan kesatria putih (white knight) dalam era dimana publik sudah
muak dengan kandidat politik konvensional yang korup dan penuh kebohongan.
Sosok kesatria putih ini diyakini sebagai pribadi yang lebih tulus dan sudah
cukup kaya untuk tahan godaan suap serta korupsi.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kekuatan
para selebriti sekali lagi ada pada kedekatannya dengan media. Posisi mereka
sebagai <i>media darling</i> begitu diimpikan oleh setiap politisi. Namun tak
jarang, kondisi ini juga bisa menjadi kelemahan buat mereka. Mengapa? Karena
sikap <i>taken for granted</i> bahwa media pasti menghampiri. Akhirnya lalai
menyusun secara serius agenda media sebagai bagian dari strategi kampanye
politik. Hampir pasti, berita tentang dunia showbiz menjadi menu utama program
infotainment. Selebriti benar – benar dipotret sebagai pesohor. Para
penontonnya juga punya ekspektasi menonton sosok yang diberitakan sebagai
pesohor. Sampai disini seorang kandidat dari kalangan selebriti sudah melewati
dua fase dalam alur keterpilihan seseorang, yakni diketahui dan disukai. Tetapi
untuk dipilih beda lagi ceritanya. Misalnya begini, niatan Pasha untuk maju
sebagai calon Walikota Palu akan banyak sekali kita jumpai pada siaran
informasi hiburan, tetapi jarang kita temui dalam siaran bulletin berita.
Karena teori yang berlaku adalah “Media is the message” maka sosok Pasha yang
hadir, adalah Pasha sang vokalis Ungu, bukan Pasha sang kandidat Walikota Palu.
Pasha akan dipotret dengan nuansa kejutan, musisi mendadak politisi. Lalu
berhenti disitu. Mengapa? Karena infotainment tentu tidak akan berbicara detil
tentang konten politik dan memang bukan diprogram itu calon pemilih mencari
informasi semacam itu. Untuk itu tak jarang kandidat dari dunia pesohor hanya
berhenti pada fase disukai, tidak dipilih. Sementara program berita memotret
para pesohor dengan sinis. Pasha yang selebriti<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>dipotret sebagai orang yang aji mumpung, memanfaatkan ketenarannya agar terpilih,
jauh dari pikiran – pikiran besar dan misi – misi yang dahsyat untuk Palu.
Menjadi terkenal barulah satu hal. Memanfaatkan media untuk kepentingan
kontesatasi politik adalah pekerjaan serius lainnya. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Media
yang sinis akan menjadi negasi dari popularitas selebriti. Bang Haji Rhoma
Irama, gagal menjadi anggota parlemen pasca reformasi. Bukan karena dia tidak
tenar, tetapi media tidak menyorotnya secara positif sebagai kandidat yang
layak duduk di Senayan. Akan menjadi PR buat Ahmad Dhani jika benar akan maju
di Surabaya kelak, karena sosoknya terlanjur dibingkai negatif oleh kebanyakan
media massa. Dan ini terjadi dikebanyakan pesohor yang putar haluan sebagai
politisi. Jika tak salah tercatat 44 orang caleg dari kalangan selebriti yang
maju dalam Pemilu Legislatif <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tahun lalu,
baik untuk jabatan DPR maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dari jumlah itu
hanya 18 yang lolos ke Senayan.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sebagian
besar masuk karena limpahan suara. Artinya suara yang diperolehnya tak mampu
untuk memenuhi syarat lolos Bilangan Pembagi Pemilu. Artinya, alih – alih para
pesohor ini dapat memberikan surplus suara untuk partainya, mereka masuk karena
nasib baik mendapatkan limpahan suara sisa. Untung saja kebanyakan mereka ada
di nomor atas sehingga masih mendapatkan peruntungan atas sistem perhitungan
suara tersebut. Peran media tidak optimal buat mereka, adalah satu alasan
penting mengapa ini terjadi. Jika tidak percaya lihatlah kembali rekaman –
rekaman siaran di <i>youtube</i>. Reporter yang mewawancara akan memulai dengan
pertanyaan – pertanyaan menguji, tak jarang juga menjebak, untuk menunjukkan
kepada publik bahwa para pesohor tersebut jauh dari siap dan layak sebagai
representasi publik atau pejabat politik. Sayangnya tak banyak selebriti yang
menyiapkan diri dengan baik menghadapi keadaan ini.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dalam
pemilu legislatif 2014 lalu, bingkai media atas kebanyakan caleg artis citranya
negatif, yakni sebagai pesohor yang aji mumpung. Ya, tak bisa disalahkan juga
sih media melakukan ini, sebab sebagian anggota parlemen yang petahana
kinerjanya bikin geleng – geleng kepala. Ada yang sangat kentara cerita kawin
cerai ketimbang perjuangan menggolkan legislasi, seperti yang dilakukan Rieke
Dyah Pitaloka dengan UU BPJS. Ada yang masih terus sibuk <i>ngartis</i> dan mengelola
bisnis hiburan, sementara kerja parlemennya entah apa. Disisi lain, yang masih <i>fresh</i>,
kebanyakan benar – benar baru tanpa tedeng aling – aling. Bandingkan saja
dengan selebriti Amerika yang jadi politisi. Walau berprofesi sebagai artis,
namun determinasinya akan politik sangat kuat. Arnold Schwarzenegger tidak <i>ujug
– ujug</i> muncul sebagai kandidat gubernur negara bagian California dari
Partai Republik. Sudah bertahun – tahun ia aktif di partai itu dan setia dengan
ideologinya. Begitu juga dengan Ronald Reagen yang berpuluh – puluh tahun aktif
di Partai Republik, bahkan sempat tercatat sebagai aktif di Demokrat sebelum ia
memutuskan pindah haluan, sebelum menduduki jabatan sebagai Presiden Amerika
Serikat di tahun 1981, pada usia 70 tahun. Dua nama diatas menunjukkan terkenal
sebagai artis memberikan nilai tambah bagi kepercayaan publik untuk memilih
mereka atas kerja – kerja politik yang telah mereka lakukan, bukan sebaliknya. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Disisi lain, partai politik menunjukkan
performa yang optimal sebagai organisasi kader yang menyiapkan sumber daya
manusia yang siap menduduki jabatan – jabatan politik strategis, apapun latar
belakang mereka. Kedua orang diatas tidak bisa dikatakan sepenuhnya aji
mumpung, dan media memotret mereka sebagai kandidat politik yang kompeten,
walau tetap selalu ada kelemahan disana – sini.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>JA</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="276">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]-->
<!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:Calibri;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-ansi-language:IN;}
</style>
<![endif]-->
<!--StartFragment-->
<!--EndFragment--><br />
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sebaliknya
untuk kandidat dari kalangan politisi konvensional sering menterjemahkan
popularitas ala selebriti secara salah kaprah. Yang didamba adalah ketenaran
bak bintang sinetron atau semua aspek ketertarikan khas budaya populer, dan
melupakan pentingnya substansi. Banyak kita temui tahun lalu, dimana para caleg
dari kalangan politisi menebar alat peraga kampanye dengan cara yang
menggelikan seperti memotret diri bak <i>superhero</i>, pendekar silat bahkan
jualan kerabat dekat yang sudah pesohor duluan. Jika begini cara ‘jualan’
kandidat, politik kita akan sangat <i>trivial</i> dan sama sekali tidak serius.
Ideologi tidak lagi sakral dan menjadi pemandu arah perjuangan. Tidak perlu
kaderisasi, karena yang terpenting mencuri perhatian calon pemilih. Kader akan
jadi perhitungan menjelang pemilu lima tahun sekali. Partai juga tidak mendidik
pemilih dan membangun semangat <i>people party</i>. Identitas kepartaian
masyrakat, <i>Party ID’s</i><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>seperti
yang terjadi dinegara – negara demokrasi mapan tidak akan pernah tercapai,
sebab tidak ada nilai yang bisa dipegang oleh publik. Semuanya hanya bersandar
pada kepentingan sesaat. Pada gilirannya, kita sebagai bangsa telah mengabaikan
isi dan lebih peduli pada cangkang. Ini yang disebut sebagai demokrasi
prosedural, bukan demokrasi substansial. Pada saat itulah , panggung demokrasi
akan menjadi semata demokrasi panggung belaka. Akan banyak nantinya mereka yang
cakap tampil di panggung tapi tak mampu berdemokrasi secara benar. Jangan marah
jika kemudian akan banyak nantinya anggota dewan seperti Nuri Shaden yang tidak
bisa membedakan hak angket dan interpelasi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black; font-family: "tahoma"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><em style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 13px;">Artikel ini diterbitkan pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2015</em></span></div>
Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-1887991579110037172014-05-07T15:33:00.001+07:002014-05-07T15:33:13.782+07:00Soal Rasa Hormat <div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; line-height: 16px;"><span style="font-family: inherit;">Seharian ini, lagu lawas Aretha Franklin, Respect, terus berputar dikepala. Terutama bagian yang paling emotional :</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; line-height: 16px;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; line-height: 16px;"><span style="font-family: inherit;">R-E-S-P-E-C-T</span></span></div>
<br />
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; line-height: 16px;">Find out what it means to me</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; line-height: 16px;">R </span>-E-S-P-E-C-T<br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit;">Take care, T C B</span></div>
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><br /><i style="background-color: white; line-height: 16px;">Soulful</i><span style="background-color: white; line-height: 16px;">, Aretha menyanyikan lagu ini dan tak pelak menjadi</span><i> siganture song </i>bagi sang Diva. Inti lagunya sesungguhnya hanya masalah domestik. Seorang perempuan, ibu rumahan menuntut sedikit perhatian dan rasa hormat dari sang suami yang kerap mengabaikannya selepas pulang ke rumah. Namun kemudian dalam perkembangannya lagu ini menjadi semacam <i>statement </i>bahkan deklarasi kemandirian bagi kaum perempuan, khususnya para wanita kulit hitam Amerika Serikat kala itu, bahkan jauh lebih luas lagi. Balik ke era 60-an di US, kala lagu ini mencapai puncak tangga lagu, segregasi rasial masih menjadi fenomena, dan perempuan kulit hitam adalah bagian yang paling tidak diuntungkan. Maka nuansa politis lagu ini menjadi lebih luas dari hanya sekedar masalah rumah tangga. "Respect" adalah representasi perlawanan, pemberontakan dan syair akan eksistensi.</span></div>
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Nah, saya tidak mau bicara soal musik tadinya. Tidak puguh juga untuk jadi kritikus musik dengan wawasan pas-pasan, khas penikmat <i>playlist</i> radio. Tetapi, "Respect" sukses mengantar saya untuk merenung soal tuntutan manusia untuk mendapat penghargaan sosial dari universalnya. Apakah itu kebutuhan? Mari masing - masing kita menjawab pertanyaan ini : </span><br />
<br />
<br />
<ul>
<li><span style="font-family: inherit;">Penting banget gak sih anda mengkonsiderasi </span>respek <span style="font-family: inherit;">orang terhadap anda ? </span></li>
</ul>
<br />
<ul>
<li><span style="font-family: inherit;">Apakah kita sudah menjadi diri kita sendiri, atau jangan - jangan selama ini kita menjadi diri sendiri untuk orang lain ? </span></li>
</ul>
<br />
<ul>
<li><span style="font-family: inherit;">Sekarang mari bicara tentang bersolek. Cermin itu gunanya memproyeksi imaji anda untuk mata anda seorang atau mata anda merepresentasi mata orang lain? </span></li>
</ul>
<br />
<ul>
<li><span style="font-family: inherit;">Pilihan sandang yang kita pakai sehari - hari, apakah karena memang kita suka dan nyaman dengannya, serta preferensi terhadapnya dilandasi alasan - alasan individualistis, atau karena kita berkeras memproyeksi selera dan kenyamanan sosial terhadap diri kita? </span></li>
</ul>
</div>
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; line-height: 16px; text-align: justify;">
<ul>
<li>Apa respek sosial itu ? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Seberapa besar tuntutan anda atas respek lingkungan terhadap anda ? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Apa anda (sorry..) termasuk yang gila hormat ? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Atau jangan - jangan anda adalah salah seorang penganut ajaran kata - kata bijak : "merendahlah serendah - rendahnya, sampai tak ada lagi yang dapat merendahkanmu?" </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Perlu sekali orang hormat kepada anda dalam kehadirian fisik, apapun secara jujur isi kepalanya tentang anda? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Atau anda tidak peduli bagaimana gestur dan tutur mereka terhadap anda, yang jelas anda mengharapkan mereka hadir jujur apa adanya? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Apakah anda termasuk tipe orang yang gemar dan rindu mendengar imbuhan kata sandang penghormat sosial didepan nama anda, seperti Pak, Bang, Mas, Bos atau Ndoro (Wew...)? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Atau anda termasuk orang yang tidak terlalu memusingkan urusan itu, lagi pula menurut anda penghormatan formal seperti itu semata - mata wujud keterpaksaan, tidak ada artinya kalau bukan karena ketulusan toh...? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Atau apakah anda termasuk orang yang puas melihat orang - orang disekeliling anda menunduk takzim, bahkan takut menatap dan berdebat, menjura dengan sangat dalam sebagai bentuk sikap takluk atas kuasa anda terhadap mereka? </li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Atau anda merasa wujud hormat semacam itu justru menjadi wahana orang - orang tersebut untuk mencerca anda, karena anda sesungguhnya adalah lelucon sejati yang hidup. </li>
</ul>
<br />
<br />
Hehehe, dijawab sendiri ya ....<br />
<br />
<br /></div>
Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-79925880314034851822014-01-13T11:07:00.001+07:002014-05-07T14:59:40.995+07:00Soal Isi Kepala <div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Luar biasa bagaimana isi kepala dapat mengubah hidup anda. Terkadang apa yang menjadi batas - batas yang mengungkung ruang gerak manusia, dibentuk sendiri oleh bagaimana kepala membingkai realitas lingkungan disekitarnya. Picasso suatu ketika pernah mengatakan "anything you can imagine is real" Bayangkan jika kemudian setiap orang berpegang teguh kepada imaginasinya, kemudian membentuk kepercayaan bawah sadar dan mengkreasi masa depannya. Baik positif atau negatif hasilnya, buah pikirlah yang membangunnya. Ini digarisbawahi lagi oleh teori "Law of Atrraction" sebuah konsep yang memberikan premis tentang posibilitas manusia menitah semesta mendukung apa pun daulat pribadinya.<br /><br />Semua diatas ini seringnya berbanding terbalik dengan apa yang menjadi keseharian saya. Betapa sulit menjaga orientasi pemikiran yang positif dan optimis. Padahal dengan semua dalil yang ada diatas, cara terbaik melukis masa depan hanyalah sesederhana jika saya membangun semangat positif dan mengimbuhkan semua citra yang baik pada benak saya saat ini. Tetapi tidak. Masa depan yang misterius itu, tetap bagaikan lubang hitam yang dengan was - was saya menanti akan menemukan apa kelak didalamnya. Ketakutan adalah panen sejati pada ladang ketidaktahuan. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cita - cita masa muda atau masa kanak-kanak kita selalu berbeda dengan menjadi apa kita saat ini. Tentu saja, banyak faktor yang membuatnya begitu. Namun, mari kita sortir variabel lain, dan menilik satu variabel saja. Konsistensi tekad. Ya, mari kita mengukur seberapa besar sepanjang umur kita, kita telah menjadi raja atas pikiran kita sendiri. Mari tanya pada diri sendiri, seberapa gentur kita menggengam angan untuk jadi apa kita kelak. Sekali lagi tanpa mengimbuhkan variabel lain selain kegigihan niat. Persistensi menjadi kata kunci. Barry kecil selalu "memerintah" kepalanya untuk berpikir, suatu hari dia akan menjadi presiden. Lepas dari apa warna kulitnya, latar belakang keluarganya, Barry menghujamkan keyakinan pada back mind-nya, "Suatu ketika saya akan jadi presiden!!" Dan tidak hanya sekali, tapi dua kali Barry jadi "orang pertama" Amerika. Pikiranlah yang membentuk masa depannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Luar biasa bagaimana isi kepala dapat mengubah hidup anda dan saya. Mari kita bersama mendesain masa depan dan memaksa kepala mewujudkannya. Cumungud!!!</span></div>
Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-53489880336348306032013-04-10T14:29:00.000+07:002013-04-12T00:20:52.760+07:00Dasawarsa Mari mengukur masa,<br />
pada persimpangan-persimpangan yang menjadi penanda kisah<br />
dan kemarin adalah suluh yang mengantar lurus<br />
dalam duka, dalam tawa, dalam gundah, dalam marah<br />
masa menjadi penjuru yang tak pernah salah arah<br />
<br />
Mari membaca masa,<br />
dalam tualang asa, genggam berkelindan<br />
lalu baku dekap pada lautan sangsi<br />
silam, kini dan nanti<br />
<br />
Mari meniti masa<br />
pada dasawarsa yang meruapkan tanda<br />
bagi kekalnya cerita hati<br />
engkau, aku<br />
sendiri melangkah berduaAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-79128195627363120512011-10-08T00:18:00.003+07:002011-10-09T10:24:08.724+07:00Hening<div>Sejuta doa kali ini kulayangkan ke atas melewati kepak sayap malaikat-malaikat.</div><div>Ini mantra seruan jiwa yang haus tak tuntas.</div><div>Engkau adalah keramat yang buat cahaya mentari kalah arti, dan pelangi</div><div>hanyalah pajangan angkasa.<br />
<br />
</div><div>Dan kata - kata tak lebih dari sekedar bunyi bertepi untuk memaknai hadirmu.</div><div>Maka hening menjadi selaksa aksara untuk mengagumimu di mata,<br />
melukismu di benak,</div><div>merasamu di hati.<br />
<br />
</div><div>Dan dalam hening ini aku ingin terus mencintaimu.</div><div><br />
</div><div>Selamat harijadi, Sayang....</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-12136707315158251562011-09-14T17:24:00.000+07:002011-09-14T17:24:04.804+07:00“Dilarang Ngebokep, Kalau...!”<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--"/> <m:smallFrac m:val="off"/> <m:dispDef/> <m:lMargin m:val="0"/> <m:rMargin m:val="0"/> <m:defJc m:val="centerGroup"/> <m:wrapIndent m:val="1440"/> <m:intLim m:val="subSup"/> <m:naryLim m:val="undOvr"/> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" Name="Normal (Web)"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style> <![endif]--> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Apes! Itulah satu kata yang menurut saya dapat mewakili sebuah realitas sosial yang menimpa mantan anggota DPR dari fraksi Keadilan Sejahtera DPR, Arifinto. Siapa sih hari gini yang tidak pernah membuka produk porno yang bisa dengan sangat mudah diakses lewat internet? Baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak susah kita mengingat kapan terakhir kali kita melakukannya. Bahkan ada yang benar – benar niat dengan sabar mengunduh video serupa hingga menjadi tayangan lengkap dan tuntas. Tetapi dalam kasus Arifinto beda ceritanya. Dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan yang tengah menjalankan fungsi politik, prakarsa menyaksikan video “gituan” melalui layar komputer tablet tidak bisa diterima, lepas dari apakah memang niat menonton atau sesuai dengan pengakuannya, hanya “membersihkan” file hasil <i style="mso-bidi-font-style: normal;">spam</i> yang diterima. Mengapa? Ya karena seharusnya secara normatif curahan perhatiannya hanya tertuju pada agenda pembahasan paripurna, yang kala itu justru tengah membicarakan persoalan nan menyita perhatian publik, pembangunan gedung baru DPR. Katakankah memang ia tidak dalam niat menonton “barang” itu, tapi bukankah seharusnya ia menunjukkan komitmen yang sungguh – sungguh terkait isu besar yang menjadi kepala berita hampir semua media dan pastinya menjadi agenda publik ? Tetapi yang dilakukan justru tidak ada hubungannya dengan performanya sebagai anggota dewan. Apa lagi ada imbuhan bahwa inisiatif mengotak – atik komputer tablet dilakukannya adalah karena jenuh mengikuti sidang, sebagaimana ditulis di sejumlah media, Kalau memang membersihkan file dari semua yang “haram” , tidakkah itu akan lebih tepat kalau dilakukan diluar forum sidang penting itu? Ini akan menjadi lebih parah kalau yang dilakukan adalah sebuah kesengajaan dalam upaya membuang rasa jemu. Apes, hal itu tertangkap lensa kamera jepret seorang wartawan, yang kali ini dengan niat memotret 60 kali aktifitas Arifinto. Jadilah Arifinto dan tabletnya menjadi skandal baru ala Senayan. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Tidak berhenti sampai disitu apes yang menimpa Arifinto. Apes kedua adalah karena Arifinto berasal dari Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini dikenal sebagai partai bersih, dengan label YANG melekat sebagai pihak yang menjunjung tinggi moralitas, kejujuran dan kepedulian. Karena itu PKS juga dikenal sebagai partai yang dengan sangat gigih memperjuangkan lahirnya UU anti pornografi. Masih terkait dengan itu, mantan Presiden PKS yang kini duduk dalam posisi sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>juga getol melancarkan gerakan blokir situs porno di internet. Artinya porno dan PKS adalah dua kata ibarat minyak dan air. Kok <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ndilalah</i> justru Arifinto, kawan seiring Tifatul tertangkap lancung menunjukkan tak siringnya ucapan dengan perbuatan. Ini menyebabkan skandal Arifinto tidak hanya menjadi tanggungannya secara pribadi, namun juga gerbong politiknya, PKS. Ya, kalau dalam konteks DPR, ini sih biasa – biasa saja, sebab preseden – preseden sebelumnya banyak dan mungkin dalam skala kualitas jauh lebih dahsyat. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Saya beruntung berkesempatan berbincang panjang lebar dengan Arifinto dua hari setelah keputusannya mengundurkan diri. Pertanyan saya yang paling mendasar adalah mengapa harus mundur? Jawabanya sederhana dia tidak mau kehabisan energi untuk “duel” panjang terkait dengan skandal yang merundung dirinya. Intinya menurut Arifinto, terlalu besar biaya yang harus dibayar olehnya dan PKS untuk meladeni silang pendapat yang mungkin terjadi. Masuk akal menurut saya, karena bahkan sampai beberapa hari setelah ia mengundurkan diri, twitter dan beberapa situs tetap mengangkat berita seputar skandal tersebut. Jadi dapat dibayangkan kalau ia memutuskan untuk bertahan pada posisinya yang merasa tidak bersalah, isu ini dapat menjadi bola salju yang menggelembung entah sebesar apa dan terus menggerus kredibilitas, kewibawaan dan yang terpenting kepercayaan publik kepada partai yang dipelesetkan sebagai Partai Keluaran Surga ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ada Apa Dengan PKS?</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Arifinto adalah gelombang baru dari riak dinamika politik yang belakangan sering menampar – nampar bahtera PKS. Adalah seorang pendiri partai bernama Yusuf Supendi yang bernyanyi dan “membocorkan” data yang aromanya kurang sedap. Sejumlah nama petinggi partai seperti Presiden Luthfi Hasan, Sekjen Annis Matta hingga Ketua Majelis Syuro yang konon merupakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mastermind</i> PKS, Hilmi Aminudin ditunding terlibat skandal penggelapan uang sampai pada angka milyaran rupiah banyaknya. Secara khusus Yusuf melaporkan Anni Matta dan Hilmi Aminuddin ke KPK atas tudingan penggelapan dana kampanye dari Adang Darajatun ketika yang bersangkutan maju sebagai calon gubernur DKI dari PKS 2007 silam. Belum lagi cerita Yusuf perihal praktek poligami bermasalah yang dilakukan beberapa petinggi partai. Mulai dari poligami yang tanpa wali, sampai poligami yang memecah harmoni keluarga seorang kader yang duduk di kursi kabinet sampai sang istri tua kabur dari rumah. Untuk masalah ini Yusuf <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>belum mau buka mulut siapa saja mereka. Lalu Yusuf <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kemudian melaporkan Presiden PKS Luthfi Hasan ke polisi atas ancaman pembunuhan yang diklaimnya disampaikan Luthfi via sms dan tuduhan bahwa Yusuf <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>bekerja untuk BIN (Badan Intelijen Negara). Sebelum itu ada kader PKS yang tertangkap basah bermain judi di Gorontalo. Lalu polemik naik turun, antara Tifatul Sembiring dan pengguna twitter akan banyak hal, mulai dari pemblokiran situs porno di internet, insiden “salaman” dengan Michelle Obama dan lain – lain. Semua ini datang bak gelombang menderu yang terjang menerjang. Ada apa dengan PKS? </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Dalam hikayatnya, PKS (dahulu bernama Partai Keadilan) adalah fenomen politik yang menarik untuk dicermati. Berawal dari jaringan antar intelektual muda islam di kampus – kampus<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang tergabung dalam kelompok - kelompok pengajian yang disebuat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">harokah</i>, yang kemudian sepakat melahirkan sebuah partai politik yang menjadi saluran aspirasi mereka. Banyak tudingan bahwa Partai ini adalah bagian jaringan gerakan islam garis keras transnasional sebagaimana digambarkan dalam buku <i>Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia</i> diterbitkan oleh The </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wahid_Institute"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; text-decoration: none; text-underline: none;">Wahid Institute</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation. Bahkan diimbuhkan Yusuf Supendi bahwa dana perjuangan awal PK berasal dari timur tengah. Namun apa pun itu, cerita PKS dalam politik Indonesia sampai saat ini adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">success story</i>. Tahun 1999, ketika PK pertama kali ikut pemilu, suara yang dikumpulkannya bahkan tidak mampu menembus ambang batas <i style="mso-bidi-font-style: normal;">electoral threshold</i> 2 persen. Ini kemudian memaksa PK berubah nama menjadi PKS. Setelah itu, atas citra yang dibangunnya sebagai partai santun, bermoral, bersih, anti korupsi dan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>peduli, PKS mampu membukukan memperoleh suara 7,34 persen dalam pemilu legislatif di 2004, dan meningkat menjadi 7,9 persen di tahun 2009. Fakta ini menunjukkan, sampai 2009, tingkat kepercayaan pemilih terhadap PKS terus meningkat. PKS dianggap sebagai partai alternatif yang minim orientasi pragmatisnya dan jauh dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">image</i> politik praktis pada umumnya. Lalu mengapa kemudian PKS ada dalam tataran persepsi negatif publik seperti yang bisa kita cermati hari – hari ini ?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Bisa saja hal – hal diatas benar, tentu harus dilengkapi dengan bukti – bukti yang menguatkannya. Toh, Lord Acton sudah mengingatkan kita, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." </i>Kekuasaan itu manis kata orang, dan memabukkan. Karena itu tidak sedikit dari mereka yang sering kita temui menggenggam kekuasaan lalai bahkan melupakan idealisme ketika sudah tiba dipuncak – puncak kejayan politik. Ini bisa saja menimpa para kader partai berlambang bulan sabit kembar dan rumpun padi itu.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Namun tidak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">fair</i> juga kalau kita menutup sama sekali kemungkinan sabotase, rekayasa yang dilancarkan pihak – pihak tertentu untuk merongrong kredibilitas PKS. Bukan mustahil ada gerakan sistematis yang bertujuan meruntuhkan nama baik PKS. Perlu dicatat hanya partai ini dan Demokrat saja yang berhasil meraih kenaikan perolehan suara dalam pemilu 2009. Artinya dalam konteks perolehan suara pemilu, trend keduanya terus naik<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dikala partai – partai lain <i style="mso-bidi-font-style: normal;">melempem</i> ditinggal konstituennya. Kalau dipikir, mengapa orang seperti Yusuf Supendi baru “bergerak” sekarang – sekarang ini? Padahal yang bersangkutan dipecat dari keanggotaan partai sejak setahun lalu. Lalu mana yang benar? Ya itu terserah anda masing – masing bagaimana menyikapinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Arifinto, Tablet dan Jepret</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mari kita kembali ke Arifinto. Lepas dari aib yang muncul dipermukaan, keputusan Arifinto untuk mundur dari DPR merupakan pilihan yang patut diacungi jempol. Ini memberi pelajaran kepada semua politisi, bahwa kegagalan melaksanakan amanat yang dititipkan rakyat tidak boleh dianggap <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>angin lalu. Bahwa setiap kelalaian menjalankan kewajiban akan berbuah konsekuensi. Kini pejabat publik menjadi sangat harus berhati – hati dalam bertindak dan berbicara. Lebih – lebih lagi berhati – hati jika berjanji. Karena inkonsistensi dalam menjalankan apa yang dipercaya, diucapkan dan diperjuangkan akan mendapatkan ganjaran setimpal, paling tidak hukuman sosial yang meresahkan. Mata dan telinga konstituen anda ada dimana – mana. Arifinto menunjukkan kepada semua pejabat publik bahwa kekuasaan yang digenggam adalah titipan. Bahwa jabatan tidak bisa di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">faith acompli</i>. Arifinto sudah menebus kesalahannya dengan mengundurkan diri, tak peduli apakah dia mundur karena inisatifnya sendiri, atau karena paksaan dari PKS, mengingat sehari sebelum mengundurkan diri, Struktur PKS sudah memecatnya sebagai anggota Majelis Syuro.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Untuk PKS, kesempatan <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>berharap agar berbagai gelombang yang menggerus kewibawaannya tidak mempengaruhi kepercayaan publik sudah semakin tipis. Harus ada langkah – langkah serius untuk membenahi citra yang kadung “dipertanyakan” banyak orang. Jika ini tidak dikelola dengan benar, bisa jadi rekor PKS sebagai partai yang berhasil meningkatkan perolehan suara dalam pemilu legislatif dimasa yang akan datang akan berhenti. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Saya pribadi yakin, Arifinto bukan seorang saja anggota Dewan yang berlaku seperti yang dijepret fotografer Media Indonesia M. Irfan. Kalau di<i style="mso-bidi-font-style: normal;">sweeping</i> kita bisa membayangkan seperti apa temuan yang kita peroleh dari isi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">gadget</i> Bapak/Ibu yang ada di Senayan sana. Nah, masalah ini sebenarnya tidak besar – besar amat. Sama seperti menurut saya polemik kita soal gedung baru DPR, menurut saya tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Bukan karena saya pro pembangunan gedung baru itu, tidak. Saya yakin banyak tanda tanya dalam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>rencana pembangunannya. Yang ingin saya katakan disini adalah, jangan sampai hal – hal seperti skandal Pariporno dan Gedung Baru, membuat kita lengah akan apa yang tersembunyi dan cenderung sulit terungkap. Kedua fenomena DPR diatas relatif <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kasat mata. Yang saya khawatirkan polemik yang terjadi memang “diarahkan” pada hal – hal yang ada dipermukaan saja. Sehingga skandal – skandal yang sifatnya “tersembunyi”, lebih “parah” dan lebih “kotor” tidak terungkap. Salah satunya seperti skandal suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. Kalau saja Agus Chondro tidak angkat bicara, tidak ada skandal itu kan? Jangan – jangan memang yang seperti Arifinto dan Gedung Baru ini saja yang dicekoki ke publik, untuk menutup hal – hal lain yang lebih dahsyat dan mencengangkan.</span></div><br />
<em>Artikel ini diterbitkan pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi Juli 2011 dengan judul :</em><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> "</span><span style="font-size: small;">Anggota Dewan Tersandung Video Porno"</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-56782544303149690742011-09-14T17:21:00.000+07:002011-09-14T17:21:01.929+07:00FOKEnya JAKARTA, JAKARTAnya FOKE<div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><!--[if gte mso 9]><xml> <o:OfficeDocumentSettings> <o:RelyOnVML/> <o:AllowPNG/> </o:OfficeDocumentSettings> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--"/> <m:smallFrac m:val="off"/> <m:dispDef/> <m:lMargin m:val="0"/> <m:rMargin m:val="0"/> <m:defJc m:val="centerGroup"/> <m:wrapIndent m:val="1440"/> <m:intLim m:val="subSup"/> <m:naryLim m:val="undOvr"/> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" Name="Normal (Web)"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style> <![endif]--> </div><span style="font-family: inherit;">Kalau anda kebetulan </span><i style="font-family: inherit;">penglaju</i><span style="font-family: inherit;"> seperti saya, artinya tinggal diluar Jakarta dan mencari nafkah di ibukota, maka kata macet adalah jibaku sehari – hari mengarungi jalanan menuju tempat beraktifitas. Kalau benar – benar sudah naik pitam karena mobil melaju bak kura – kura, wajah siapa yang pertama kali terbayang dibenak anda? Ah kumisnya.... Ya, kumis itu yang jadi muara umpatan dan selaksa sumpah serapah yang terpikir atau bahkan terucapkan. Coba tes, buka jejaring media sosial kala jam – jam sibuk berlalu lintas. Pastilah nama sang pemilik kumis itu yang menghiasi komentar – komentar putus asa para pengemudi kendaraan. Komentar – komentar ini menjadi semakin “sadis” ketika kendaraan anda yang terpaksa melaju lelet itu melintasi jalan – jalan utama yang banyak papan reklamenya. Satu dua </span><i style="font-family: inherit;">billboard</i><span style="font-family: inherit;"> tersebut memasang gambar pria berkumis dengan senyum khasnya dan dibubuhi embel – embel pesan “Sukseskan Ajang Anu...” atau “ Selamat Datang Delegasi Anu...” </span> <div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;">Masalah transportasi bukanlah satu – satunya problema akut yang dihadapi Jakarta. Ada banjir, masalah kependudukan, kemiskinan, tumbuhnya beton yang lebih banyak dibanding taman – taman asri, kian galaknya ekspansi mini market, hypermarket dan wahana retail modern dibandingkan penjual kelontong konvensional dan pasar tradisonal, sementara pedagang kaki lima seperti mengamuk menganeksasi trotoar sehingga kian semrawut. Lalu apa saja kerja “Abang” kita yang berkumis itu? Oktober nanti, Fauzi Bowo menggenapkan periode kepemimpinannya selama empat tahun mengelola satu – satunya daerah khusus ibukota di negeri ini. Lalu mengapa Jakarta begitu – begitu saja? </div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;">Tutur sejarah menyebutkan, sulit mengimbuhkan kata “asing” diantara Fauzi Bowo dan tanah Jayakarta. Secara biologis, ia adalah putra kelahiran Jakarta, dari rahim seorang wanita berdarah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Betawi. Meski Ayahnya keturunan Malang namun bagi Foke, begitu ia biasa disapa, <span lang="SV" style="color: black; mso-ansi-language: SV; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">budaya Betawi </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">lebih banyak terpapar padanya. Ini tak luput dari peran Sang Kakek dari Ibu, </span><span lang="SV" style="color: black; mso-ansi-language: SV; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">Abdul Manaf </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">ulama NU yang kesohor di tanah Betawi. Sedangkan </span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">pengalaman </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">sebagai </span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">birokra</span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">t dalam</span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> Pemerintah Provinsi DKI Jakarta</span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">,</span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> sudah </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">dijalaninya</span><span style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">lebih dari </span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">30</span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> </span><span lang="PT-BR" style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tahun</span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">.</span><span style="color: black; mso-ansi-language: PT-BR; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> </span><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">Ia telah bekerja dan mengabdi untuk para gubernur pendahulunya, sejak Ali Sadikin sampai Sutiyoso. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Dalam konteks bermasyarakat dalam kemajemukan, masa lalu dirinya juga menunjukkan hal yang positif. P</span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">endidikan formal di</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">tempuhnya pada </span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">sekolah</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> - sekolah</span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> Katolik</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">.</span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> SD </span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">di </span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">St Belarminus</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> sedangkan </span><span style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">masa </span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">SMP</span><span style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> dan </span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">SMA </span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">dihabiskannya di </span><span lang="SV" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Kanisius.</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> Otaknya yang encer juga membuatnya mampu menempuh jenjang pendidikan tinggi sampai ke Jerman. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Herr Doktor</i></span><span lang="EN-US" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ingenieur (Ing)</span></i><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> </span><span style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">layak disandangnya setelah sidang penguji memberikan</span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> predikat Cum Laude, </span><span style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">atas desertasinya </span><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;">tentang pola tata ruang kota Jakarta. </span><span style="color: black; font-size: 11pt; line-height: 150%;"></span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Dari semua rekam jejak diatas, sepertinya jabatan gubernur memang pantas disandang Fauzi Bowo. Berbekal dukungan </span><span class="post-content">sekitar 16 partai politik, antara lain Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI-Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Damai Sejahtera, Foke mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2007, berdampingan dengan Prijanto, mantan Asisten Teritorial KSAD berpangkat Mayor Jendral sebagai wakilnya. Pada pemilihan Foke berhasil mengantungi sekitar 58 % suara, melampaui pesaingnya Adang Darajatun dengan 42 </span>% suara. Jakarta pun berharap banyak pada Bang Foke untuk memperbaiki wajah bopengnya dengan slogan yang sangat meyakinkan dikala kampanye dahulu, “Serahkan Pada Ahlinya !”<span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"></span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Tetapi slogan tinggal slogan. Jakarta hari ini jauh dari impian yang didamba. Jauh dari kata nyaman, efisien dan “untuk semua.” Selama era 2007 – 2011, perjalanan waktu kota Jakarta mencatat sejumlah masalah serius dalam masa kepemimpinan Fauzi Bowo. Baru saja empat bulan kota itu memiliki pemimpin baru yang dipilih langsung oleh rakyatnya, ujian pertama jatuh. Tiga hari air menggenangi jalan tol menuju bandara membuat sarana vital itu lumpuh total. Selain menyebabkan kerugian materi<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>hingga milyaran rupiah, keadaan ini juga memberikan tamparan kepada Indonesia yang saat itu justru tengah berusaha keras menggaet turis mancanegara lewat program Visit Indonesia Year 2008. Tidak sampai disitu saja, banjir juga mengepung jantung ibukota negara. Di bulan yang sama Istana Merdeka, kawasan Monas dan kawasan sekitarnya terendam. Setelah itu, berkali – kali kawasan ini dan jalan – jalan penting lain tergenang saban air dari langit mengguyur.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Yang <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>paling penting untuk dicatat adalah tragedi sengketa makam Mbah Priok di Tanjung Priok yang menelan korban ratusan orang luka – luka, baik dari pihak warga maupun satpol pp yang bentrok. Sampai kini apa sesungguhnya duduk perkara yang kemudian memicu bentrokan itu masih sumir dan tidak sepenuhnya cemerlang. Apapun dan siapapun yang menjadi sumber masalah, yang jelas protes keras mengarah pada satuan polisi pamong praja, aparat yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, namun justru melancarkan cara – cara penuh kekerasan dan anarkis. Lagi – lagi pemerintah DKI Jakarta disasar atas keteledoran itu.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Foke dikenal pedas menanggapi pertanyaan – pertanyaan kritis dari wartawan. Gaya bahasanya yang ceplas – ceplos kadang mengejutkan insan pers. </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bodo amat, gue kan gubernurnya. Kalau lo gubernurnya, pasang foto lo di sono!”</i>. Ini pernyatan Foke, ketika wartawan bertanya mengapa fotonya yang terpampang pada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Billboard</i> sosialisasi Pemprov DKI untuk mengajak masyarakat ikut menyukseskan<span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;"> KTT ASEAN bulan lalu. Komentar – komentar serupa membuatnya terkesan temperamental dan difensif terhadap kritik. Entah karena hal tersebut pula atau memang keputusan timnya, ia menjadi jarang sekali tampil di media, berbeda seperti pendahulunya Sutiyoso. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Kini, satu tahun menjelang Pilkada DKI Jakarta, nama Fauzi Bowo wahana media massa dan media sosial tidak terlalu gemilang. Coba saja <i style="mso-bidi-font-style: normal;">browsing</i> namanya di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Google</i> atau gunakan fitur <i style="mso-bidi-font-style: normal;">search</i> di media – media sosial kalau tidak percaya, Foke selalu dilekatkan dalam konteks negatif, ketimbang sebaliknya. Bagaimana sesungguhnya kinerja Foke untuk Jakarta sejauh ini? Apakah dia terbilang gagal mengemban tugasnya sebagai gubernur?</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Jakarta memiliki karakteristik yang unik. Sebagai provinsi, ia tidak berdiri sendiri dalam mengelola semua bagian wilayahnya sebab sebagiannya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Seperti jalan tol, kawasan Senayan, Kemayoran dan Tanjung Priok merupakan bagian yang pengelolannya merupakan tugas pemerintah pusat.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sebagai pusat aktifitas dan pusat pemerintahan, kawasan seluas 647 km2 untuk kawasan daratan (belum termasuk kepulauan seribu) ini harus mengakomodasi kebutuhan 9 juta lebih warganya (berdomisili di Jakarta) dan puluhan juta lainnya yang bertempat tinggal di luar Jakarta namun beraktifitas di kota itu.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-hansi-font-family: Calibri;">“Semua orang ingin segala sesuatunya selesai dalam sehari. Itu mustahil,” begitulah Foke menjawab berbagai masalah yang ada di Jakarta. Soal kemacetan, ia mengaku telah melakukan upaya dengan sungguh – sungguh. “Saya juga baca <i style="mso-bidi-font-style: normal;">twitter</i> kok,” imbuhnya, “Saya tahu, masyarakat kecewa karena tidak dapat berlalulintas dengan nyaman. Tapi masalah yang dihadapi Jakarta kompleks.” Salah satu kondisi yang dipersoalkannya adalah, bagaimana disatu sisi pemprov berusaha mengurangi kebiasaan masyarakat berkendaraan pribadi, sementara penjualan kendaraan terus digenjot oleh pemerintah pusat. “Setiap hari ada 11 ribu sepeda motor dan 250 mobil baru di Jakarta. Sementara untuk traffic-nya sendiri,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>rata – rata 800 ribu kendaraan pribadi bergerak masuk dan keluar per hari,” demikian penjelasannya. Inilah salah satu bentuk ketidaksingkronan antara kebijakan DKI dan pusat, yang menyebabkan tingkat kemacetan sulit untuk ditekan. Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak ditambah moda transportasi umum, tetapi Foke lebih memilih membangun jalan layang, di kawasan Antasari dan Casablanca? Cari Proyek? “Ya kalau tidak ditambah fisik jalan, sementara kendaraaan pribadi terus bertambah, suatu saat akan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">stuck. </i>Ini juga harus dipikirkan dong. Kalau soal hitung – hitungan (proyek pembangunan jalan layang) kita transparan kok. Silahkan dicek,” jawabnya lagi. Tetapi kalau moda transportasi ditambahkan tentu akan lebih efektif, sementara sampai saat ini pembangunan monorail <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mangkrak</i> dan seperti menjadi monumen saja. “Sejauh ini, penamabahan 4 koridor busway dinilai efektif mengurangi kemacetan. Sementara proyek Monorail bukan pekerjaan pemprov, itu swasta. Faktanya, swasta kesulitan melaksanakan proyek tersebut. Karena itu, harus ada prosedur yang dilalui untuk menyelesaikannya, dan kemudian mengambil alihnya. Sekarang akan dilanjutkan kembali.” </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Bagaimana dengan banjir? “Dengan rampungnya proyek Kanal Banjir Timur, maka seharusnya masalah banjir sudah selesai. Dalam waktu dekat, akan pula dialihkan aliran sungai Ciliwung, yang kerap menimbulkan banjir di kawasan Cawang, Kampung Melayu, Jatinegara dan sekitarnya, ke kali Cipinang untuk kemudian diteruskan ke Kanal Timur. Sekarang relatif banjir sudah terminimalisir kan?” Ya, mungkin saja karena curah hujannya juga tidak terlalu besar belakangan ini, tapi justru kawasan penting seperti Senayan, Sudirman-Thamrin, Kuningan kerap tergenang ketika air tercurah dari langit. “ Kalau itu mamang diakui kita punya masalah dengan saluran – saluran air mikro,” jawabnya.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;">Foke bisa saja menjawab semua permasalahan Jakarta berdasarkan versinya. Bisa jadi apa yang dikatakannya benar, tetapi tidak kemudian semuanya bisa dianggap selesai. Walau bagaimana masyarakat yang merasakan. Merekalah yang kemudian memberikan penilaian benar atau salahnya. Dan seperti layaknya pejabat publik yang dipilih oleh rakyat secara langsung, mempertimbangkan apa yang dirasakan mereka menjadi sangat penting. Foke yang tiap minggu “ngantor” di Kelurahan – kelurahan seluruh Jakarta itu, tidak bisa menyatakan “berhasil” lalu habis perkara. Masalahnya, rasanya ada di pola komunikasi. . Jika dengan wartawan saja, masih sering menggunakan terminologi “Bodo amat !” , “ Emang gue pikirin?!” dan lain – lain, ya betapa mengerikan pola komunikasi politik Sang Gubernur. Membangun pesan secara produktif tidak sampai, citra dan kredibilitas semakin anjlok.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Ironisnya, pola komunikasi yang salah satu metodenya memasang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">billboard</i> dengan foto dirinya, guna menyosialisasi berbagai hal justru mendapat banyak cemooh. Sementara slogan “ Serahkan Pada Ahlinya !” kerap dipelesetkan secara satir sebagai ahli kemacetan (bikin macet) dan ahli banjir (bikin banjir). Satu tahun kedepan adalah waktu yang sangat penting, jika Foke masih punya keinginan untuk menjabat untuk kedua kalinya untuk berbuat dan membalikkan opini buruk untuk dirinya. Kritik jangan selalu ditanggapi sebagai serangan Bang!</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="color: black;"><span> </span></span><em>Artikel ini diterbitkan pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi Agustus 2011</em></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-47263917672950070662011-05-19T15:55:00.001+07:002011-05-19T16:14:56.543+07:00Suara Kejayaan<div style="text-align: center;"><img alt="" src="data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAd4AAAEACAIAAACSyIDLAAAgAElEQVR4nO2deXAUR57v7fWuj7HHF9iY05zGB0YYm9MGDIhD4r5swFzGGGxjZIMxhxGHpJbUOlrqVrckWgJrNO/Ni/HyeBHDjEJmCRMMEQ6vdiKWYS0Tq1Ao3DtahwZYRXuspnW0uvv98YOcclZVdvYlVUvfTygUUnYev8zK+nbWLzMr7/qv//qvGzdu/Pjjj21tbR4AAAC9zc2bN++CNAMAgNGANAMAgOGANAMAgOGANAMAgOGANAMAgOGANAMAgOGANAMA+i9Op7O3TdAG0gwA6L/EW5rNZnPIEE0gzQCAfoTT6VTKMfc392lYgXootVhSlz2QZgBA/4GJqeCPyALFkCLL67IH0gwA6D+olVRehTUzkfeHhKXLHkgzAKD/EK40e7R8F86fI1MuRs0AAKBLBNIsjikDfM0AACCi533NWKEBAACh6fkVGpEBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMNx182bN2/duuXz+QKBQBAAAIABgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhgDQDAIDhiFCaC04V2z632ypKSp320jKbo6So3GErLbPZHBaLPf+Qaf+s5dOffP6pX4596qFnhg+e9OwT44fPWDTzrV3rc2wZufbswpMWsyPf7MgtKDPn27OsTrOlLMvqzCmuyCmqyCmuzI1fhQEAwPhEKM1FlbaS03Z7hb3UaS8tL7GXWcsrSy2lhZaTBQvWLhgzeeSDw+7/hyfuuf/px+9+6pH7hj72jwPvv+eRux8c+IvJcyYfLTxR6CzOL7cUniwsKMstPplXWGrKt2cWODILy7MtzlxLBaQZANCviVCaS5w2R4Xd7iyxO+0lJ20lFTbrqWKTPWt66tSHxz1879B7fjH4H/9hwN0Pjnj4vsEP/XL4ww8Puf+hp+594Ml7/+mJB+atTc1y5JtLC4sqbbbKYlulJd9uspRm5zuyCsqyLU6zxWmOX4UBAMD4RCjNJytLyyocZZWl9gq7tcJmryox2TNfSk56/LlHHh7/i/uH3fXQoLsefPLuAcMfeGTwPb8ceNfgp+8b/PQDjwy579FRAx4d9eQ+05GCCmvByWLb6RJrRZG1orCoLDe/NLugLLewPK+gPLQ0t/kCV3/yVTd3JF1204/D1X6ptavNF63HvMHTnVbvoQw1I1BxUZYCAAACIpRmZ+XJUmepo6LUetJqOVlUUlW8dMOCYc8/NmHm8KHP3v/o4LuGDbtn3LiHxj3z4Lhx9z0z9p6xT//Tyy89PnHy4IEjH77niQcWb1hVUFGSX15kO223VhRbK4sKy/OKnAUWZ2HhyUKLs0hceoOn29TovdTa1dLhZ4GtXYFLrV2mRm+DpzvCxggGg1BeAIABiFCaS53lxaV260l70cliy8miI9mfjnvhyRmvjp396sjZ04dOf/HRuVMHpcwetWzeyNRZg5fMfmLl3KfWpYxdvOCZ0c8++otB9z03Y2JOqSWvzGJxFpecKiksKygsL7BVWq2VtuJKW1GFVVB0g6fb4Wpv8wXafIGzLZ1Jl90kxySpNOYlyaYQl9dvavTSKLi16+91ZOGmRq/Le1vi2RicCTT90doVSKv3mBq9QWntpu8PLn+W/OpPvrR6T1q9J8ovEgBAnyTSacBSR67VYi4pMtsLcq05295945mxj3+wNfXQjuWHty7cvfKVnUtf3L70ha2p496cN3jD/EFbU4dtXDxsXeq4mdOHPvLE3QNHDfw0+0hhhbW40lpcUVRQmmcpL7CdsllPlRRXllicxXrltvkCafUe8lo4XO1MQ8kFQYrZ4Ok+29IZVOms0kfh8vq5j0g99aSZfpTZittHnT8b4KutUgo3AAAEo5HmnGJLjs1ithdkFmQuWzFv+ksjqwoO/9/Czyo/2Zr/9uJ9KybtXDju7YWjNyUP3bxwyNupQzcvHrp5+bjFc58ePereh568973P0swnC81l+QXl+QXleUXOAttpm+10SXFlSX65rkOj9kZnndsXDAbr3D4mtS0dt3WwurmDoilVlQKZVlIEkvXaG52Up1K1OeWlfykmfSXISDPlT3JM5pGscxlyRQMAABGhNBdabdmWwqyi/Gxr3nHzsdTlc+fNnPDPpdm/tx0/uXtDweZFB1dN3v766O2Lxm9LGffWghFrZg9MnfrgGwtGvLn02ckvPvqLAXe/8+n72aV52fbsokpL4cl826ki2+nb3gxzaYFeuaZGLzklSPuYg4L07lJrF/uXBbKJQaWkauqv4CPl7KKMNKuHxmn1HnWGbb4AXNsAADURSrOlyJpnKTIV5mdb8zIKM1e+kfLqtPGfW9IvVhX9+tCuwq1L0tfMeG/RCztSXlz3+ujkyY+mzhy4et7QjUvGvbnk+bkzhj02+N71H2wyOXIKnPlFlYWFTnNRZb7FWVjotFgqi/PLLXrlagooGzWT37a1K0DjUEn95fRRkEovRNNO9Y/yI0gzAEBApA6NwqJ8S5GpMC+rKC+z0LRtx/qZL4+zHfv4rO3EiS1LN786fu2UEetnj928+PlVc4bPmfTQay/cN2/yw0tnDd6ycsKa1HETJwxYv215TsmJvHKzuTyvoDzfUp5fWGouLM8rOlWcXykrzeQxYE5nGkRXN3coHcfKtBE7NDgbwnJoqKvA/BuXWrvg0AAAqIlQmm1FxQXFRTk2S0aROSMv89D+PTNfGGM7uOd/mw8feXvZ4skjkl8euXz2mN0bp66dP/i15++e9dw/rXhtyJsLR21b/ezmFaPXpzy7feP8YvuJE8UZeRXFeWUWa2mhzZ5vK8+3VBbkntJ1aDDZJT1VD0trb3SS4AaFIhtymk4zlV6IGnX+Sj8494NpQAAAR6Sj5qICS0lRfmlxtjUvI+dE9vHDcyeOL/x452/MhzN3rF4wYcjcCcM2L5546O05mxeOWDXjseVTHt+y8JmdK1/csfK5HavHb10+6d1NCy3Fx0z2bFNpgaXCZi21OEot9gpL0aki82ndacAGTzfTONpvUt3cwTaJMOEmxCKruXguZCrNEE2u/uSj/NPqPezbgiUnm7F4DgCgSaTTgBZzkd2SZy/MseWZzJkZhz/ZtXqJ6d23viwz/9a078PUGW9Me75gz4ac95ZsTx69Y+HYrXNHbXl9zHvLJuxc/tz2ZWM3pkzYu3u9xZaZ6zBn2Qvyy4uLSi2lZUX2iuKiU8X5p0Trmh2udqXSqWGL54wJnMsAgJBEKM35llyLvTCvJD/Xmpedl5F99EDuvg+y3t34pT3ni+MfH127YPei1/LeXZf/3opdC5/dMmv4ltlP71z0/N51r7y3fMKOJeO3r56ek7m32J5tLi3Mthfl2i1FpUX28uISZ3FRpdXyuV1cenVzh6nRe/Unn9KZ2+YL0JjayLochDQDACSIUJpzC7OLHJaCkvy84jxTzvGsI/tzPv0w54Ot/5x58OzxvcVvr9n+2qSMt5btXvTStlljVk567K1Zw7cnj929Mmn36km7ViUd+nDtyfJcW1l+0UlbfpmtsNxWXG61O202p9V6qsT2q/KQBrR0+GtvdCp3ndBoWnPmLU5oLsOQXLzRMxYCABKUyKW50JZvtuTkWXJzzBkZRz81HUyz7H+/8sCH/y9j/+cfv7NrzuSDq+ZmbE7dNmf8hteGb04euWHusK2pY3etmrhrzeSMIztsDlNhSW6xs8RaWVZQWmwtt5ZUWB2nHY7PS0s+Dy3NAADQh4nUoVFstlgLzAXZOeasTNOxzMwjpqP7zQd3l+x///8c3Vv50faczSuc+945/lbK6snDlk8euHzaY2vnPLFh0fAty57ZuW5KbvaeAntWni23xGkvKi8pOllS7LSWnLI6PreXVpU5IM0AgP5NpNJclFtgycs1m7JzMk5kHTthOnr02CcnDu3O2bvDeWB32YdbT6xNPrD0tT2Lpq57ecTSlx5b8spDq19/fF3ykxtSRm1bNSkj8wPLSbOltLDEabeW2SzlxdaKYvvnVvvnJaWfO8pOl8WvwgAAYHwidWjkmfLycszmnOwc0/HsjM9M6QeOffLZkbQT+94t2rez5P1NWWvmW7aucHywcfOMsateGbApeciW1CEbU4a8lTJqY8pz+w9uLXTm5TvyCu0FJc4Sm9NqO1Vs/5XV/rnVXmkrrXTEr8IAAGB8IpTm7NysXHN2fp45NzfnRHbWwawj+47tP3Rs75F9u7L2vJ27fU3Omrn2bavztyz/OGXKplkj3pr31NYlQzYuevKthcM3Lhj33gerjuQfNNtzbCeLrWXF1pNWR1VJ2a9L7FVWe4W1zFkiKNrpdIYMUUfg4mhmwiGZuTifsNLKF8H9AQDoY0QszRnZ5owcsyk3P/dEtunwiaOHjh8+fPTAZ4c+OrLv/cwPtmZtXObYteHkR1sPrpv9xryRKxcMWbFo0Mq5AzfNeWr7rOFvpL4w8tkBk2aO2XP4/QJnkaXCbjtdXlZ10nHK7qi0lgnXNcvorPynIaNFIM3RJI+gCABA3yNSaTYfzzZnZOVkZJlNJ0yZR04cO5p5LP34Zwc/27fvk92ffLA1L2174QebCnet27dq2soZgxa+9njyrEdSZz+2ee6QXbOHvzF/1OQpA34x8K6X5r6Qbs3IO2UvPu20VZaVVZU7f11aXm0TFE3CpJQn7m9uzMv+Vf9WZ6tXHPe3YFCsJ81cuZo5yASqaxTSJABAwhGhNOfkZuaYszKzT5zIzjienXHMdOKzrPQDRw98mr73wJGPDx764MN3157YvTHn3VUHVkzZPHPw6hmPrX79iTcXDtmWMnrL/KfXLX1u2uzhTz3zwLgZIxZuTUnL2Z9RlpNTbj5qOWr9VXHJ/9J9lX5QKM3iQLGbIqQ0i0vRCwlZejSBkiYBABKOCKU5Kysjy5R5LOPY0cxj6abjR7KPHcg49PGRjz5O/yjts90797/z4eH3Vq947eM355m3Lcx8c9qOOYM3zR20dt6gdYtGvLlk/PLlLy5Y9dLYaYPGzBr+4tIJE5clJS1JmpQyaVJK0uz1s1N2pAiKDleh5CWVQxlTMEgX5yOIKTBPXBakGYA+T6QrNHJzs3OyM7IyjmdnHDYd3Z9xaPdnH214f2PKhpRXl8x4ecmMfcXHd3y8bc7LI5dPGrRt5rAN0wZsmj/sjUUjV6eOX7MiacuOhSu3zZu4aNzoecMmrHru+ZXPjJg39ImpA4bOGjJg6oDHpz0hKFotQ7GSZr3iBCIbweiby1bslBB8W8hXDQCQcEQszeaMrKyjmScOnjjy/sE9a3ZsmL9u0eRFU8fOHD9s8ojRs17cdHR/ekn2lndWvTZ56LxJA1KnPbn89adXLh6/edOcvZ9sTDu8LXn9qy+vnDB+yejn1z4zbuWoMUtHjE4ZPmTuoCfnPvXLmY8Liu55aY5tPiFz0CsrYpMAAAlHhNKcmZ1zNOPE+/v2pL6xfNK8qaOmjJ+4YErK2ysWbEmZkJw0PnnKol3b91tz95sPzVyYtHT1lHXrZ7y3e+mej9cdPrLz8JH33/t089Tlk6asnfTMsjFjl48asWTI2JUjxq14etTS4UMWD3107gBB0ZrDT/VHCSHN8saLLYE0A9DHiFCaDxw9Mn9pyuiJz4yZPD4pedr8janTV89ZumvtrsyPVu5e/8rKebM2rN1wYM+bn7zz8HMDZqyetuitOZv3rPngwLY9n2zf++nO1dtTX1z0bNLKCWOXjB63csyza8Y8nTJ45KLBI1OHDU0ZMjhlsKBosRoK/A8hJVXsPQiqJFU8pBWHs+Ri4/VqJJkWAJCgRCjNU+e+OjV51uurFi1Ynzoh+eWFW5e+uW/zjHXz5m1Z+p5p38b9OxdsWZ2yc/3Tc158bPLwRyc9NXrWuMWbF76zb+ueQzs371z38oIJU1ZNnPrm5EenPXL/5Acemf7I8PmDRy8eNiZ1+JDkJ4emPBW/CgMAgPGJUJq3fLhjwRtL569fMnvd/EXblj2bPHHRjuXr9m2ZtXHx7I2py3a9uXjbsldWvDrwlRGDZ44Zm/ziy8umzVk9++29Wza+t3bW0qnz1s+ct2XmxBXPPzLl0fsnPXjv8/c98Px9D0+6f8C0h4bOGzhuxdNxqy8AACQAEUrztr27Vr+7MWnh1FfXzF2TtmHK6teeXZA0Z9PitXvffn3T8ldWzNr86ea3DmyZ/sbsYa+OHTv7uenLZ6a+tXjZ5sUrtqfOXj39pdTnhs0YMHDKo0/MGDRw+qAhrw0b9tqwp6YNGPLq4+OWDB+/Ynj8KgwAAMYnQmkGAAAQPyDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNAABgOCDNUdHg6Xa42pMuu9PqPVd/8nGfJl12K396xUIA1CQr6G1bgDaQ5sipvdFZ3dzR5guk1Xv0xLe1K1B7oxPSbEyqqqqqqqpiGzNRuHLlCqTZyPR9aW7rDjTe6q5z+8pd7fTz57/5/trpjzJbl9efdNnt8vrp77R6T3Vzh15kSLMxSXRpjlJbIc1Gpi9Ls9cfrHP7am90fe/tbuv+e+1+9AUab3X/sbXLG4U+Vzd3yKstpBnEA0hzH6bPSvP/dPrLXe3X2rr1IrR1B6JR57DUFtIM4gGkuQ/TN6WZdLnxlq4uE6TOkRUBaQa9TsJJ85kzZ65fv96TJSYukUszN8nb3NxcVVWVnJycnp7+zTffUBzNQCXNzc1nzpyhTKxW65UrV7gIV65csVqt9OnFixdlepLXHySHskwtGm91/4/K7+zy+slfkXTZbWr01rl/lhW37kItu3VuHy3bSLrsdrja69y+iKWZK6K1K3C2pVPPMKLNF6i90Ukzk2n1nrMtna1dAc0MlSZd/cmn/Lelwy9eW8JdfbfbXVNTo3kdk38OBV6/fl1zkYCgP8S2RI/H09TUdPHixfT0dPElUGelabkg3OPxUEHJWsjUXWyVZm7KQtPT02tqatxu/jpyjUmRQxYdDdevXz9z5kxNTY3H44lTEX2GqEbN33zzDV3d5ubmpqYmCqTu9c0336gDuUtOsks9xuPx0J2mjEP5U8j169ep64S06s9/85W72jv9P6vOtbbucld7ndvX1h0od7WzwfKPvgDn9Khz+0yNXpKzNt9tKVSLoKZmtXYFTI1eU6PXdcdR0uDpFqzfkIEpu8vrr3P72ny3DSP151bs0YTk2ZZOFo3sb/DcriNL6HC1UxyCi0YxTY1eLpoSNsXf3Nx85coVutk8Hg99GV+7do2isZAzZ84ob0iPx2O1WquqqlhgyP4QwxL1ZFRcU0EI0dTUxIW73e709HRWzevXr9NQg90aknXXRM/+5uZmkmPWRJQhV6igMeOnzsE7jXDx4kUItIBoHRp0dZVfyKzfqwOtVqs6LReijMNp8bVr10LeSDRk5tS29kYXaeuPvsAfW7vKXe3fe7uVnyojq2WUhqhcQZpqa2r0ptXzvY2NQMWWC6DkysFvMBhs7QpwhtEyPoernUtOTwBMYdUJWRFc2rR6j54uE+oLHQwG3W43dx01r34wGKyqqlI+3obsD7EtMazVY5q2aablwkkTldVsbm6mr42Q+avtD2lVMBj0eDz0ZcCF0/BIqYaSjRknmpqarFar5sM0CMZKmiMLVC9I4uLQv9zdK7bne293uatd6aPgBtG0fu5HheKU/1yPHK52TqE0hVXTj6E5vtbLQR695Fz4pdYutp5PSYOnO+myu/ZGJwsxNXqVWt/g6T7bctsHolRwtcpzSMpT8I4uKC8lDdCUcUL2h5iX2APSHKt7QdKq4J1nzebmZi6cRvQXL14MtwpxhQQ6roP0BKU3pVlJU1MTc7SxQOZMvHjxotpTpgkJMVMncl8o5wNJmpVJyvUFqMHTzZzO3EfqQHIUcGNbvchhISnNJLjqcW6bjx8mk4gzZ8jZls4GTzdtjWGBl1q71PsbOeTvbbUuXLlyhXu+5uKr+0PMSzSONHOWa9ZdxqpgMEgOE7WvQP0kYQRpJsifA4FW0svS3NTUVFNTY7Var127xjwhygjk+SKsVqt6LMDBKW/jrW7lGPlHX4CbIez0ayzSoFGkqdF79Scf6ZqMNAv0t2ekWd4A8mmwQTF9RJtomIKbGr1ib0YwzHubc09p7uAI2R9iW2IPSDPNXSv7LTk0ampquIQh6y5jlbhSMl8b4hyUEThCfiSGZgJkYvYTetmhkayYvdFL2NTUpBRowVArqJJm8iwzbwa5O5RbAf+n0885ptXTa31PmoOKIbbL6z/b0qkMbO0KyHgzgmHe2yRSdLmbm5uV41lCpj/EtsQekOZgMFhVVZWenk6uFZoBS09P554CJe8FGfsTUZoxalbTa9JMzgplX9RLSFy/fp26r/irlZNmTaVWOmP//DefcqMgLVTgHuTDcmhoWmUEhwYnteTTID8GW5hBgZdau+rcvpDejGCY97ZyfunMmTOcNkn2hxiWKMhNJv+wLGFji/T0dPXKhHDvBXEcsUND+egQsTTHEPia9eg1aZaMwy1+Ctlp6F0ZTHyV0kx+Z6VS/+gLcMufJVVYM5CJndqqnpwGVBtA04Dc/CT5NGj2jwukZR4hvRnB8O9tUii6G2WSRCmI4hIFqWRiyltC83JhZS5pm2YcKk79cEnOd/UCcMlsYw5WaIgxujRzLrnkUKNmci6zFRq0nLmtO+D1B7/3ditHzX/t9Ku3pUQjzcFgMK3eo15mpxdZHklppsVzagM0l/SRtaTOXGT1EFuPcO9tWv6YrBoh6iWJXpoFJQpSycQk0ecGpzRO17RZME0SW2mmxXPq24QcKTJFxFuasa5Zhqikme2wUvZ7muUIGUh+QOb+o61Q9CzGOjElYXH0VgUpoaEx09xOf4DWbNAiDa//tk/jj61dyqXNDFqlwNaZ0bZAUivlojSaMVO7PmjHh8PVziK7vH72UlDNAXVI2LJorizNcNrhwm05Sav3qFfUscpyVtG2QBlvhubVF4QTere9TH+IbYniVCEzIdFne0k8Hs+VK1fYygplnixQyZkzZ9jAVqbumtDXg9qH3tTUpN5ykp6erswtssaMEuwGlCc2G7VZx5UPDAaDbCMpczbRLqbkOx4x6h/MT1dVVRVyhUbwzvo5pQc5LNguZ7YTmgSXjSWThLu0lfukWQ56kUOiV5bABm6jdu2NTj3XBH3BcIHkmNZcAqhE75rqhTMuXryolhL2kaA/xLbEkKk043OB7C0CycnJ6enpZLNmniS+aph7IeS9oInb7WYtQ+NQ9hG3UZsbokbcmFGCd2jI0wdfb9TpD7Dtf8Bo9PzNGZMSkyPaIOd2u2n8y3l+PR4PPQKGfIMH6Lf0QWkOBoNe/+3N2dybNLg4IV9NB2ILPc8mYonJWn6DkOgtlmB5xnxYCvoMfVOagz/3Miu3ZXf6A7SW+c9/Ewl3/FD7IgQ/PW9ezCEvJ8lTVVWV5K7OXi9R6ZylmZII3KMC8SWXrnrjCQBEn5VmghZmkEbTT53b13irO2JPNAgXkqeampqLFy/2zPLVmJTIHLgej0c5ZRcW5LXg5kjofaSabyACgNHHpRn0OrSSgc2SJUqJpJ5qYY0gH9p+zSbWrFZrTU1NZFoP+g+QZgAAMByQZgAAMByQZgAAMByQZgAAMByQZgAAMByQZgAAMByQZgAAMBwRSnOC7lgLeXiH5OkefZiEuLJ9Zs9kj/W3PtNi/YfIR810gHRiXWbliR6RRegPJMSVbe0KsLet9rYtkdOT/U2vxdRHyAMjEJVDQ/7GkHwZfLzRfKN8WBH6CYkieYlipx49398gzYlCP5JmOgcvmgj9h0SRvESxU5Ne6W8J3WL9in4kzdXNHS0dGod9yEfoPyTKDZwodmrSK/0toVusX9FfpLnNF9A8tU8+QuJS3dwR2ekqcbInhiSKnWp6q78lbov1N2Ijza1dt8+gU566pIwT2U8wGGzwdDtc7YKzlCQ9ZZdau8Tn3Skj6E1n07l57F92Op/4VcvxSBWyvsp6aSapc/vozENTo5dmh5SfylxZBp2gSEkEV59qcbalk66m8nJQKSyHS61dmnWpc/uoMyRddjtc7fLTlTQDxmqh7gncqV1nWzq5I7i4iri8ftYtmbWagXpodkj5lgwZTohbrM0XIKeKpss7ZJuAuBIDaXZ5/XVuHzsnlLoCdw+HNWpmHaj2Rqfy/FOHqz2t3sPNaEtKc1gTgKwWDle78suA5ENpAI19KFpPpgpZX4JuPHUjk17TNWrpuH3yoTKC/JUliaeblk6J5eKwq9ng6TY1eqlGSpMaPN10rakgsoe7pq1dAVOj19ToZf2BDqiVkWY62rG6uYNVhFM9isCddZukOtCWfcm5vH72ESnppdYudaD4CDR1h5RvSS4hNSAXLtNiAlmXbBMQP2Igzdx3aWtXgL7z1TH1cpAPNzV60+o98tpENHi6z7aEmADkIghqwamG0p6eTBUStmZW3ZicFnMj9GB0V1YvjnLKy+Fqr27uCAaDbb4ASYAyPmmNUpXounMVZE8Sei3A8ufsUeZGEdTf7iSvXGurm4VOudUMFPgrNDukfEuqM1SHS7aYptyH1SYgTsTF16z32BVNDgTdtCGfFjnOtvx99C0fgZ732S1HtxOJmlJVuR7ck6nEsLta73Io56Aivl7qpxb5qx+8MxTlZsNI2li2JB+ag9CQ0kz5c2M9ZSqKoL76bCwfsjj5QIZmf4umJTUFV7LF1CFhtQmIEwkmzSHHI5pJIpsApA7KHIJnWzqZf4AFqj2GPZlKgMPVzoRe3ZjMsVt7Q9uBGO51IRo83cxVKpmKnCTigihOWHYy6DuPG5TDd1oAABHlSURBVOhVN3fQmF0vQlCnp8VEmmUmAMNtSS48rBbTHHHLtwmIEwkmzeKPNKlz+8ReP70I9PzOBjJJd+Z/lL3T1OjlenBPptKD22Om2WJsdoiK4IZIYV0XGuPT9Bp7wJfJjX2k9yOZXPOj6CNIViRcaRZ0yIhbkguPslIxvPtAxPR9aQ6paIIIbPjg8vqZc5A5H/Q8DD2ZSo16I4Nei7HVL0l3pulCJlGHUw7K4XzMb/U+Js16/S2aloQ09z0STJq50WVIlDIXQQTmqVSOQynwUmtXndun6WHoyVQcmgouvp1aOm4v+VI+qEpeF3KMcIaFdavrPTsr0XN6iHOWzF/88B7S+RtWYFC/v0XZklx4WC2mDgmrTUCcSDBpprUEYgeFEnLaRhyBvgloRo4LpClszXu+J1NxaN42mpdDmZv62Tma0VlY0kz+dPUloBXQ9LfmVF7InMX5M/QyV68S0SsuLGnW629RtiQXHlaLqUPCahMQJwwtzeptrLRUU97C6N9nRMskuJEODSsEw4eeTMWobu6Qn/nhSols1By9NOsNxKqbO5QSoF4AFzJnQnPBH4UrV++pI2guPotemvX6m2QmNBzWnKjgYsq3mDokrDYBcSJyaWZrJLmnMM1w6lLqZTd64ZSDcoMJbTlha/KVOejJ1tWffOJldiEjBHWGXTR4F3gYeiYVV/ck4ZSa8g6kv1mzc4ul5K8sGczyoc1s9F2izk1v6EpjMeX3Su2NTq5L0A4Ih6tduQWJ7aZR5qzuD5S/w9XOvulp84tyqaJ6e0VavYebGtVsFpqqlQkMCvubTEsG73QG9gjV5gvUuX1sLQdng0yL6V1ryTYB8SMGr9JX3/PqcPKBUgjtDBaHs+7CbTNVWyKQ5mgmABl0m3GBNNYT7FvtmVSSOyE1B0pc27JbLtwrq9wATReIRIGy1UvFwTZwJ+lvB1fuG2Zx1DlrtknI/LlNyepXAmhWRD6QEPc3cUuyaGyHPZmq1w4yLSa+OiHbBMQVgx5AJbiNJWnp8LO1q5FF6DNE35ggevpPfwMxoc9KMw40YUCajUD/6W8gJvRZacaBJgxIsxHoP/0NxAQjSrPeLIo8ONBECaS51+lX/Q3EBMNJs+TEkRjlGyQiiwBADEF/A+FiOGkGAAAAaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMBaQYAAMMRe2kO93RRQIS7lDuydpYphZ1+klbviXjXDwAgGmIvzRG8K0DyDWp6CHaphHy9VsxLDBmT/Thc7ZzwaZ48r4e4nZO03nYtU0rtjc7q5g56Yy+zsxe/a/VaL63eU93cgW8O0FeJvTRH8K6AKG/+Nl+A3jisubebXnFb3dzR4OmO1Y4scYmaBnBSSK+fTpI74kgTQTtTiYKdwXql0BZ5ekEovZGyurlD8+r05OZvzQZs6fBfau1Kq/ewF2MC0JeIsTT34rsC9MTibEtnnMZW8vKkF5Negq58vbpknuJ2Zi9KjsyekKXL2xkrBMWRzXhDBehjxFiaq5s79J6j443m3XuptSt+b2KMXppplKoc/0rmKWjn1q7A2ZZOenO8Xt31Som+RnFCXBxVNuSBNQAkELGU5jZfQH2emPJQBoerPX73j/ruvdTaFdd3ysREyDSd4+LcNNuZUXuj0+X1k+jruYn6mDQH7xyriGM4QJ8hltJ8qbVL6TqgqaQ6t4/dMHTgWFq9h4W0+QL0bB7922y5u1esy9wMHvP8ptV72JeHZqCgRHnbuI/CHTVz7czB5JjUSv4gV/WP5tXRm5djEbiDi862dEb/BRmyWcj1z10meoCgtKZGr+ZFpFP4WByl25qrHZdbZDEZ4lbSbFt2jh/XGoIqgMQlltLMySvNIHFxaDTHjnPW7GqRocyk9kZoOWDzeC6vnz34M+evOlDd42Pl0FD6SWXyFHyNNXi6mQBpqpW4FM0hvGZkQY3Ux30KXCuShGwWki3lCU90Wis70a6l4/YxpspU9EhHXYWZqrzQbDWLy+tng4w23+0DLZVfkPIxgxKtxBLSahmWkB6Y1EcFCqoAEpSYSXODp5sJLiF5/4e1YkwAZRLWal+WhIXQGamagWofQvTS7HC1czobMk91OytR3slktqaOS16aoP7V0Qyk5yR1+9N3WzTeBpmmVsYhS7iGIrFWj3a5TLgLre4PwWCwtUujS0jGlGwlvV7HvfpZpgogEYmZNJ9t6eQOQtccNQf1n6ajKT348yGe5PmY8qIT1sgxZEGtXYGrP/no/uTu5JB5qtuZ0eYLcBWnu109YpWX5rACaZyuNo8NYDXNliFcaSZLuJlSEjtln1SvC5TvnBHHlG8lunzKWqgvsUwVQCISG2kWT0wpoUFEPDoTG7Ooz4cXJ4ltoKAg9kMDOs1nfHGe4nZWL0ehu109yo6TNNN8r3p0rDcAlCdcaSZvQFj5NHi6mcdWJknEMeVbSS3W4hVHelUAiUhspLnO7ZN0b6kHAsGYSnPwzg5mGXXurVFzxDHF7cxWwqh/OCGIkzQLjI/yEodMzo2I9dpBnQ85iEyN3qs/+Zg7S6boiGOG1Uo0zmD/an69hayCPCGbC/QYsZFmU6M3pCeRnsVMjV71gtzYSjMho84JJ82CdnZ5/Zoeg9obGvNCfU+aaYDJ5jwli1PP0RlNmsn7QRYq53jDqoI8kGbjEANpdnn9gomp4J11QqZGb7g7IMJCnUlIdY6fEtGCAZmY8nmK21lvjZpgwkqydPlA8aN69K9JEUTg5tD0LFFCixm4tRM9IM1htZLy8nGrNeSrABKRGEizntuUqHP7HK528dqpOElz8I46601AxU+aq5s7ItjjJ44paGexD5q0QPmwEidppiGe2kj10ohwETcgrUFU5k/PCmpLWjr83MLNkAXFXJrDbSXqw5orc8LtliCBiIE0C5bZOlztMjdk/KSZzQpqjjfjJM3shUohY0qaRAjauc7tEwyoaQGczOrpKOtOy8LUXxKmRm+UW4rEDyhp9R7u21dvnF7d3ME6ZG9Jc7itRJKdpLWoA9Lch4lWmq/+5NPbe83eKqn3Q9HYHqdoXkLEuq86E6bOtDWRPfVrlkvjL5lA9jo0rkTa8aiUZhYz5LYLQVMI2pnyNzV6NRfVtfkCbG0yZatXimY19SLrPY5Q9bnNFGn1Hr0FfzIww9j+ERZOmWv2HOoS1c0d7IrX3uhUGkwjaxZCe+roCYNZq1d9dbh8zGD4rUR7aNXhMlUACUq00iyYmBLrMkmznl6HRchMmHBHYIxkoPqHpFm+guKYeu0sTsVEWVzxsOpOsGUw9K2glDxuCzKnp+GiZ7ap0Sv2pAXvuC9YfPUDHLOTfUr79JIuu1ntZNoqrFaNoJW4LxX5KoRuX2BUopLmlg6/5OYOEA1oZwD6G1FJcwQHmoAIQDsD0N+ISpqjf12cJjIPjCH9A32JOLVzr4CL25OgtROXyKW5Fw806VegnQHoh0QuzepX84B4gHYGoB8S+2NbAQAARAmkGQAADAekGQAADAekGQAADAekGQAADAekGQAADAekGQAADAekOSp6fTNVrxsAAIgHPSTNMrtCY7VzVH3GcFxhb3frsRKNZgAAIOb0kDS3+QJ0uEOS/nuZ23wBvZcgh0UPS3MwPocExskAAEBC0KMODRkFSUSVgTQDAGILpDkGQJoBALEF0hwDIM0AgNhidGnWmxXUDBdMIdKxaUlaZxFxqVq7AuJTiwQ2U1ruQCB1KVyJ3L8ur59OP0qr97DzADUD9RoNAJDoGF2ag/orENiJfyEj17l9pkYvvVqTjshM+vmp8iyVy+uvc/vYYZqkhiHnJAVpOWXXawE2R+ry+tmBJvRdcqm1Sx0omS0AIEFJAGkWJJSMrBnCnTZPcbg3I7d2BdQx9cyQSStoAXUmbb6AXqB8tgCARKQXpFnmRzOhXoYhA9XL6WTkWxweWdqQ0hxZIKQZgD5Gvxg1K2nwdDOnc8RFRGwepBkAIEN/keYGT/fZlk5To/fqTz7mKIi4iIjNgzQDAGToF9Ksns2DNAMAjEzfl2Zaj8GtsoA0AwCMTN+X5ijVDdIMAOh5EkOaySNBS4YZtDoN0ixpJAAggeg5aWY7RAQ7OFxev2YceiOdw9XONnTUuX1soYXYWVF7ozPpsrv2Ricrorq5w9ToTbrsdnn9FNjSoV2uZji3FC/ctEpjxJE1W0MdqGcAACBxSZj3NdOOPgpPq/fQdjjNyOq0tTf4zdMur59CSCs1y9ULV0pzuGlbuwKsRFOjlzRaM7JkoEzDAgASjj54ykmSxP49AAAwMn1TmtUeAwAASCAilGaZJ+see8Sml72R45hcsdyEIQAAJBZ9YdTMXLdtvkB1cwd7SRsAACQofUGaGzzdbE6PLboAAIDEpS9IMwAA9DEgzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzQAAYDggzUbB7/fX1dX1thUAAEMAaTYKP/zwQ3V19Q8//NDbhgAAeh9IsyHw+/1ffvnln/70p/Pnz/e2Lf2Oc+fO9bYJAPBAmg3B9evXf//73/t8vq+++qqlpaW3zelHnDt3DtIMDEjk0uxUwIXH1MK4E3ODw83Q4/FcuHDB5XIFg8Fr166dP3/+1q1bfr9fHTPpslv5ExNrKZ8IclOK2jkVwWBQ2aMkLY9VpSSzUloryCeyNo9hXUA/JCppDiu8/yDTAm1tbV999VVNTc0XX3zxu9/97uLFixTu8/kuX778hz/8oaam5vz5819//bXb/fc7PH53e7g5cyocVKmzOH+94npSmjmDL1y4cOXKlR9//FGcj7yFkGYQDRFKs0B96CNuNM2Nr7mPuN/q+Fz+mpnLJ9csWpBKnYT7W7N2egYQN2/ePHfu3Lfffuvz+TQjeL3e//iP/zh9+vStW7dYoObdzg3olHGUgeo47Lf6U/EIUXOMzH2qNlLzX2VZ3N+aaQVG6mUlWQXGX/7yl3AtD/68MbkQvawAEBC5NAuETC1Syk/1QgTCrfmvprCKkwtykClUXWJYdeG4efPmb3/7W04IGD/88MOFCxdaW1uVgZoyqvxUPkRPQeSlRM8VoCfNYRkvNi/cWgvsJ77++uva2lr2L/d1KGm53jcfFxMAGWIwDSivnpIhQeGQk/tWkMlc02C1eoq/bzR/c6kkDWC0tLTU1taqF8zdvHnzzJkz6nDxqFlebcWaKOlaDVeaNY3hytIzLKSR4qzEVWDWtrS0XLhw4dy5c//5n/8ZK8vV/wIgg0GlWTPniDPXzCTk4FcviZ6yC4wU8O233/7pT3/iAs+fP9/Y2KiOrL699R721f9qfiSOLEbPlaHp6BDYKa6OnjQLEoZVEc7OW7du0SA6Vpar/wVAhhj4mqOR5pAjTYFvITKHRkgj9QbsMhaG5dAgvvvuu3//93/nAv/t3/7t22+/VUcWKAI3yBX/LSnNMqNmToX1HNAhBU5Tv2JSo5Cov2DCkmaxQ0MdHwAZYrB4Th2u/lsdmVNStQQLJDKkKAuShzRSbYwgiWZxaoEW8PXXXzc0NASDwf/+7//++uuv//rXvwYCge++++5f//Vf1ZEFDo2gUAs0PR7Kv7lPQ3ozgvpjZLFDg/tXbZiMHGsaKc5Kkr/85S96Do2Qlge1BFozEwBC0qe2nMhIodE4f/78999//8c//vGrr766evXqF1988S//8i+NjY1ffvllb5vW7+jq6rpw4YLm80pIxOILaQbhkvDS7FTQ27ZEwhdffHHu3Llr1651dnYGg0G/3//dd9/97ne/+81vftPbpvU7bt26pVybERYC8YUugwhIeGlOdJqamrq6urjAW7duXb9+vVfsAQAYAUgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYDkgzAAAYjv8Pl8NWOLY3ONcAAAAASUVORK5CYII=" /> </div><div style="text-align: justify;"><br />
Twit ini mengejutkan saya siang tadi. Setelah saya cek, ternyata isinya valid. Ini lagu yang saya nyanyikan beberapa saat sebelum Radio SK bubar, akhir tahun 11,5 tahun silam. Saya menulis lagu ini, dengan modal gitar dengan jurus 3 jari chord gitar. Aransemennya dibuat Mudi, teman sesama awak radio SK, yang kebetulan jebolan IKIP jurusan seni musik. Bukan mau sok - sokan karena ini toh bagian dari sejarah hidup saya. Masa dimana saya di SK adalah masa kaya kreasi seni musik. keinginan bermusik begitu meletup - letup. Mungkin ini tak lepas dari pengaruh lingkungan juga. Teman - teman di SK kala itu memang gila - gila musikalitasnya. Salah satu yang sukses besar adalah anak - anak Nugie & ALV yang moncer melesatkan trilogy album Bumi, Air dan Udaranya di blantika musik Indonesia. Saya hitung - hitung, sedikitnya saya mengarang sekitar 10 lagu kala itu, yang sekarang kalau dipaksa ingat, lirik dan nadanya kebanyakan sudah lupa. Lagu yang ada dalam file diatas judulnya "Hujan". Ada yang berjudul Doa, Nurani, Queen of My Dreams, Semalam di Mayapada dan lain - lain. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Senyumnya di 101,6, Ketawanya di Radio SK....Brur and Sis...," entah berapa juta kali <i>opening line</i> ini saya ucapkan selama saya berstatus sebagai penyiar di satu - satunya radio komedi di Indonesia (kala itu) Suara Kejayaan (SK) 101,6 FM. Saya memulai karir sebagai eSKader (sebutan untuk awak SK) sejak medio 1996 hingga radio itu tutup usia 31 Desember 1999. Apapun kata orang yang pernah mendengar dan tahu SK, saya merasa berhutang terhadap <i>rumah </i>saya ini. Saya berhutang gelar sarjana kepada radio ini. Dari uang jasa produksi dan gaji bulanan yang saya terima, saya bisa mandiri dan menuntaskan studi di FEUI jurusan Akuntansi. Karena alasan itu pulalah saya yang <i>introvert </i>ini nekat melamar dan berkat rizkiNya saya akhirnya bergabung di SK. Anda bisa bayangkan gak, manusia kaku yang jarang punya kegiatan sosial, harus jadi <i>announcer </i>yang kerjanya berbicara, di radio humor lagi. Tapi kebutuhan adalah guru terbaik untuk memaksa manusia menyerah kepada kehendak dan mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
Dari blog Nofri, si pengirim twitter saya dapatkan lirik dan link rekaman "aksi" amatir saya belasan tahun lalu ini. Terima kasih Nofri, hari ini saya kembali mengingat masa lalu. Bahwa hidup tak semudah manusia menginginkannya. Insan mesti berjuang untuk mengejarnya. Alhamdulillah saya ada disini, begini saat ini. </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
<i><b>download link :</b></i></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.4shared.com/audio/2i_KmLPl/Alfito_Deannova_-_Hujan.html">http://www.4shared.com/audio/2i_KmLPl/Alfito_Deannova_-_Hujan.html</a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><i>lyric link : </i></b></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://dodol-dudul.blogspot.com/2011/02/alfito-deannova-hujan.html?showComment=1305789774836#c2041241445015943769">http://dodol-dudul.blogspot.com/2011/02/alfito-deannova-hujan.html?showComment=1305789774836#c2041241445015943769</a></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-52742680653236044362011-04-27T15:37:00.002+07:002011-04-27T19:03:10.797+07:00Keagungan Cangkang<div style="text-align: justify;">Mengapa hari - hari ini, standar nilai yang saya anut menjadi begitu dangkal? Mudah terkesima dengan hal - hal yang tidak terkait dengan substansi, esensi. Saya seperti melupakan filosofi dibalik semua peristiwa, objek dan realitas? Mudah kagum, senang dan takjub pada yang kasat mata. Semuanya berhenti pada kepuasan penginderaan dan malas mengolahnya lagi lebih dalam hingga menyentuh dasar yang kontemplatif. Saya menikam rasionalitas dan intelektualitas dari belakang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Indera, pengelihatan, pendengaran, perasa, pengecap, pembau, bukanlah pintu yang dibaliknya terhampar singgasana pemaknaan. Ia seharusnya merupakan gerbang dari koridor proses pengartian, yang pada ujungnya baru terdapat pintu keramat itu. Namun, hari - hari ini saya rasa keadaannya berbeda. Instan, dadak, <i>ujug - ujug</i> menjadi sifat yang "mulia". Tambahkan lagi elemen sensasi, kegenitan harafiah atau banalitas naif, maka sempurnalah "keagungan" sebuah realitas. Semua yang nge-pop adalah "matahari". Benar - benar <i>low context</i> bukan?<br />
<br />
John Storey pernah mengatakan, semua budaya populer, budaya yang mengagungkan lahiriah harafiah nan memanjakan indera dan jauh dari karsa kontemplatif, akan sirna jika seseorang atau suatu komunitas telah menemukan <i>high culture</i>. Ia adalah sebuah status yang memerdekakan keputusan pemaknaan atas apa yang diindera dari sekedar gambar dan teks. Jika saya bisa mencapai batas itu, mungkin saya akan memutuskan bahwa Briptu Norman serta Shinta & Jojo adalah sebuah fenomena yang berhenti pada kata menggelitik, lucu, <i>and that's it</i>. Tetapi kemalasan pemaknaan yang kronis membuat saya membuat mereka lebih dari sekedar gambar di <i>youtube</i> yang membuat terpingkal - pingkal. Disinilah kemudian proses ekspolitasi bermula.<br />
<br />
Tulisan ini hanya saya buat untuk pengingat pribadi, untuk membuat saya lebih tekun lagi mencari makna dibalik semua peristiwa. Mengagungkan apa yang diindera tanpa memberi cukup ruang bagi pemaknaan atasnya, hanya akan berhenti pada posisi ekspresi yang dangkal dan konyol. Saya menjadi sangat mudah berkomentar atas sesuatu hal, tanpa proses yang cukup untuk memutuskan apakah komentar itu sudah tepat? Yang berbahaya, ketika saya tidak sendiri, tetapi terikat pada kesamaan<i> intrest </i>dengan orang - orang yang sama dangkalnya dengan saya. Jadilah kelompok kami sahut - menyahut dalam pemaknaan komunal yang ya...tetap dangkal. Sudah tepat saatnya saya lebih banyak lagi merenung. </div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-24081833709737235392011-04-18T12:09:00.003+07:002011-04-19T13:11:00.456+07:00Godot dan Kaki - Kaki<div style="text-align: justify;">Bagi <i>Jakartaist</i> (ini mau sok - sokan nyari padanan <i>New Yorker </i>gitu deh hehehe), surga adalah hari raya Idul Fitri. That's it! Natal, Idul Adha, Hari besar lainnya tidak lagi jadi <i>Paradiso</i> seperti dulu. Bahkan Sabtu dan Minggu hanyalah hari tegang berlalulintas tanpa jam kerja. Jalanan adalah neraka, dimana sumpah serapah menjadi lingua franca dan <i>homo homini lupus </i>adalah prinsip paling simpel dalam upaya untuk bertahan hidup. Masih ingat lagu yang ditembangkan Franky Sahilatua?<i> "Bis kota sudah, miring kekiri oleh sesaknya penumpang..."</i> Dahulu, pemandangan itu kerap terlihat di jam - jam sibuk pergi dan pulang kantor. Sekarang rasanya agak langka menemui yang serupa. Pemandangan umum di waktu yang sama saban <i>working days</i> adalah berjejalnya ratusan ribu, mungkin jutaan kendaraan pribadi di jalan - jalan raya. Sepeda motor dan mobil, atas nama individu, seperti hendak berebut keluar dari kemacetan yang mendidihkan darah dikepala.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Transportasi menjadi masalah serius buat Jakarta, dan juga kota - kota besar lainnya seperti Semarang, Surabaya, Medan dan Bandung. Kebanyakan warga kini tinggal di kawasan <i>outskirt</i>. Sehingga jarak antara tempat aktifitas dan kediaman lumayan jauhnya. Permukiman di Jakarta (dan kota besar lainnya) juga tidak di desain dengan bentuk yang massal, seperti flat - flat atau apartemen. Apartemen baru tumbuh belakangan dan identik dengan <i>luxury life</i>. Alhasil, kelas menengah bawah yang mengisi porsi terbesar pada piramida penduduk, harus "menyingkir" ke luar kawasan inti. Kegagalan mendesain permukiman massal sejak awal juga dibarengi dengan absennya perencanaan sarana angkutan massal yang layak dan nyaman bagi semua. Oh, ada busway...! Yah, kita bisa cerita satu artikel sendiri soal itu, mulai dari jalur yang mengganggu jalan arteri yang sudah macet tanpa ruas <i>dedicated</i>, kurangnya armada dan ketiadaan <i>feeder</i> yang sama pentingnya dengan busway itu sendiri. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tipikal realitas di negeri ini, warganya harus mandiri mencari jalan keluar untuk permasalahan sosial yang dihadapi. Maka solusi untuk "kenyamanan" bertransportasi adalah membeli kendaraan pribadi. Konskuensinya, jumlah kendaraan membludak tak karu - karuan. Meluber sampai trotoar, jalan - jalan tikus tak layak lintas, bahkan mengkorup jalur berlawanan arah. Sementara tidak ada yang berpikir bahwa ini akan jadi bom waktu. Otoritas menimati tingginya penjualan kendaraan, karena ada pajak dan bea - bea lain yang tentu saja meningkatkan performa lembaganya. Naiknya tingkat kepemilikan kendaraan juga dibarengi dengan borosnya konsumsi BBM. Sehingga ketika minyak dunia harganya <i>gokil</i> seperti sekarang (+/- 120 USD/ barel) semua teriak - teriak, mengatakan penggunaan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran dan harus ada keputusan tegas atas "ketidakadilan" itu. Faktanya, tanyakanlah kepada "pemboros - pemboros" yang dimaksud, kalau ada sarana transportasi massal yang nyaman, aman dan efektif, apakah mereka tetap akan memaksakan cicilan kendaraan yang merenggut isi kocek dan membeli bbm yang sering mengganggu preferensi belanja dapur? Coba tanyakan... Menuding mereka yang tidak diberi solusi sebagai pihak yang menikmati hak orang lain dan dipaksa menyelesaikan masalah transportasi yang harusnya adalah domain kebijakan publik menurut saya lalim, <i>ngeles </i>dan cari selamat. Itu harusnya prakarsamu kok, malah kami yang disalahkan? Lalu katakanlah begini, subsidi dibatasi...Ok, deal! Kalau naiknya BBM kemudian tak masuk ukuran kantong, tak kami bawa mobil kami, lalu kau siapkan apa transportasi untuk kami? </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Belakangan, <i>double decker </i>dibangun di sejumlah ruas jalan yang padat. Jalan Antasari dari Cipete ke Blok M dan Jalan Prof Satrio, Casablanca. Jalan ditambah karena kendaraan pribadi makin banyak adalah hal yang masuk akal. Tapi kalau jadi lebih banyak lagi, lantas apakah jalan keluarnya akan dibuat lagi triple decker? Lah... proyek lagi dong? Enak nih? :) Di sisi lain pada sektor sarana transportasi umum suasananya adem - adem saja, alias tidak ada aktifitas bangun-membangun. Monorail <i>mangkrak</i>, Subway tinggal rencana dan wacana, riverway? Apakah tidak mungkin dan tidak bisa, kalau uang buat pembangunan dua jalan layang non-tol itu dipakai untuk membangun sarana baru transportasi massal? Ini cuma tanya aja....</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Supaya tidak stress dan <i>rempong</i> berlalu lintas, yang kita butuhkan adalah sayap di kaki laksana Hermes. Tapi apa daya, yang kita punya hanya roda - roda yang meluncur tak lebih dari 5 km/jam saban pagi. "Kaki" mandiri kita jadi sangat menyita waktu. Jika rata - rata setiap orang menghabiskan waktu di jalan selama 1,5 jam saja untuk berangkat ke tempat kerja dan 1,5 jam untuk pulang (faktanya bisa lebih dari itu), maka 3 jam waktu akan terbuang setiap hari. Kalikan lima hari kerja artinya 15 jam perminggu. Jika rata - rata orang bekerja 30 - 40 tahun selama hidupnya di Jakarta, maka waktu yang terbuang karena "kaki - kaki" <i>bolot</i> ini adalah...2 sampai 3 tahun lamanya. Selama itu kita habiskan waktu hidup kita yang singkat dan berharga ini di jalananan. Lalu menunggu nyamannya bertransportasi di ibukota ini, sama halnya dengan pekerjaan yang dilakukan Estragon dan Vladimir, menunggu Godot. Jika Godot-nya Samuel Backett dalam interpertasi religius berarti menanti datangnya Tuhan untuk menjawab berbagai masalah, maka mungkin sekarang kita juga lagi berharap kemurahan hati Tuhan memberi berkah, agar sengkarut transportasi Jakarta segera mendapat solusi. Disaat itu juga kita seharusnya bertanya, seberapa 'sakit' kita.</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-66770296920669521092011-01-04T15:21:00.000+07:002011-01-04T16:50:42.937+07:00Sang Kodok, Kambing Hitam dan Saya<div style="text-align: justify;">Tiba - tiba lagu "Sang Kodok" yang ditembangkan biduan legendaris, Benyamin S berputar - putar dikepala saya siang ini. Entah dari mana, ide ini nemplok dibenak saya : "Ini lagu soal <i>ngeles </i>berjamaah ya !" Secara filosofis, lagu ini bisa jadi contoh paling simpel sekaligus mengelitik tentang pencaraian kambing hitam dan pelampiasan kesalahan pada pihak lain atas apa yang terjadi/ tidak terjadi. Tak pernah saya ketiban inspirasi untuk menganalisis lagu sederhana yang entah sudah berapa ratus kali saya dengar seumur hidup itu. Tapi siang ini, seolah - olah Om Ben, meneriakkan substansi dibalik lagu yang dibawakannya secara jenaka itu. <i>One thing leads to another ! </i>Dipermukaan seolah - olah demikianlah adanya lirik lagu ini. Coba kita simak<br />
<br />
<br />
T : Sang Bangau, Kenapa delap - delop?<br />
J : Karena Sang Kodok kerak - kerok.<br />
<br />
T : Sang Kodok, Kenapa kerak - kerok?<br />
J : Karena Bang Orang pade ngorok<br />
<br />
T: Bang Orang, Kenapa pada ngorok?<br />
J : Karena Sang Kodok kerak - kerok.<br />
<br />
<br />
Bangau dan Orang <i>ngotot </i>apa yang mereka lakukan disebabkan Kodok. Ini membuat Kodok, menjadi Sang <i>"trouble maker." </i>Entah karena ngeles atau terpojok, Kodok yang kemudian ditanya lagi, <i>"Kenape ente kerak - kerok?" </i>menjawab dengan asal : <i>"Mangkenye aye aye kerak kerok, bikin musik lagunye hosrok"</i>..tuh, <i>ngaco </i>kan?<br />
<br />
<br />
Pertanyaan : <br />
<ol><li>Apakah Sang Kodok sesungguhnya si Pembuat Onar atau Kambing Hitam?</li>
<li>Seberapa besar sesungguhnya tingkat kemandirian sikap, kemerdekaan tunggal Bangau dan Orang?</li>
<li>Benarkah ada level dependensi yang sangat besar terhadap Kodok, sehingga bagi Bangau dan Orang, seekor berudu uzur bisa mempengaruhi semesta mereka?</li>
</ol><br />
Dalam hidup banyak sekali <i>excuse </i>yang saya buat hanya untuk menyelamatkan muka , atau lari dari kenyataan, atau menyembunyikan kekurangan, atau meluapkan kekecewaan. Telunjuk saya kerap kali terangkat untuk mencari "batang hidung" lain yang "enak" untuk dinobatkan sebagai "sebab"<br />
<br />
<ul><li>Kok telat? ===> Macet!</li>
<li>Kenapa nggak lulus? ====> Dosennya sentimen!</li>
<li>Mengapa tidak bekerja? ===> Susah cari pekerjaan!</li>
<li>dan masih banyak lagi....</li>
</ul><br />
Jarang sekali rasanya, menunjuk hidung sendiri terlebih dahulu, sebelum mencari - cari kesalahan semesta , memutuskan faktor - faktor luarlah yang menjadi penyebab nan memberikan kontribusi utama akan kegagalan, kekalahan, kesalahan serta hal - hal negatif lain yang melekat, menimpa atau mewujud dalam kehidupan saya. Mengapa begitu? Mungkin karena saya tidak mau jujur terhadap diri saya, sendiri. Mungkin saya tidak mau mengakui dan menyadarkan diri sendiri, bahwa diluar segala topeng yang saya kenakan dengan harapan dapat mengelabui orang lain, saya hanyalah insan yang serba kurang, punya kelemahan dan jauh dari kesempurnaan. Mungkin saya ingin "mulia" menjadi cap yang selalu menempel, sehingga citra diri saya selalu baik, dan karena itu saya mulai melimpahkan kenistaan kepihak - pihak lain. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pesan dari ini semua sesungguhnya (satu yang sering kali saya abaikan kehadirannya) adalah hikmah yang terkandung dari setiap peristiwa yang menimpa saya atau saya yang jadi penyebabnya tidak pernah terserap dengan baik, dan menjadi guru pembimbing hidup kedepan. Seribu Kambing Hitam akan dapat kita cari, tapi itu tidak membuat kita mau belajar atas makna yang selalu ada dibalik semua cerita.</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-39616178907363929232010-12-20T13:28:00.000+07:002010-12-20T13:28:47.838+07:00Terbitnya Bintang Timur Yang Mengejutkan<div class="entry" style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kalau saya membayangkan diri saya adalah Komjen Timur Pradopo, maka Senin awal bulan silam adalah hari dimana semua buah durian matang jatuh menimpa kepala. Bagaimana tidak, kejutan yang menyenangkan datang bertubi – tubi hanya dalam satu hari. Pertama – tama, pangkat dinaikkan dari Inspektur Jenderal menjadi Komisaris Jenderal. Jabatan sebagai Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya yang baru disandang sejak bulan Juni lalu juga beralih menjadi Kepala Badan Pemelihara Keamanan Negara. Ketika matahari yang sama lengser ke barat, namanya secara resmi diajukan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang siap memasuki masa pensiun. Sekali lagi semua ini terjadi hanya dalam tempo satu hari. Tak ayal lulusan Akpol tahun 1978 asal Dusun Gempol, Jombang itu membuat geger jagad informasi, baik di media massa, maupun ranah social media. Bagaimana tidak, karena sepanjang wacana calon Kapolri bergulir, hanya ada tiga nama yang riuh rendah dibincangkan orang. Mereka adalah Komjen Nanan Soekarna, Komjen Imam Sudjarwo dan Komjen Ito Sumardi. Bahkan nama Ito Sumardi yang tadinya hanya ada dibawah bayang – bayang Nanan dan Imam, baru ramai kembali didiskusikan, setelah seorang petinggi partai politik menggelindingkan semacam hint di twitter yang mengarah pada sosoknya, di pagi hari yang sama Timur digadang jadi calon Kapolri. </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Heboh pembicaraan soal terbitnya ”Bintang Timur” sesungguhnya tidak pada posisi untuk membelejeti pribadi mantan Kapolda Jawa Barat ini, tetapi lebih kepada mekanisme pemilihan yang benar – benar mengejutkan. Berdasarkan kelaziman, nama calon Kapolri biasanya diusulkan oleh dua pihak kepada Presiden untuk diproses dan dipilih. Keduanya adalah Kapolri menjabat dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kapolri mengajukan nama Nanan dan Imam. Sementara Kompolnas, selain mengajukan nama keduanya juga memasukkan nama Kalahar BNN Komjen Gories Mere. Sampai terakhir nama yang beredar hanya dua, Imam dan Nanan. Tidak ada Timur disana. Namun diujung, dialah yang kemudian tampil kemuka dan mementahkan semua spekulasi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Memang, karena berdasarkan aturan, posisi Kapolri adalah pembantu Presiden, maka adalah keputusan Presiden sebagai perwujudan hak prerogatif yang menjadi kata akhir siapa yang akan dicalonkan dan kemudian diuji oleh DPR. Itu tidak ada yang akan pernah menggugatnya. Namun “cara” bagaimana Timur yang akhirnya terpilih, adalah cerita lain, yang yang menarik untuk dicermati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><strong>Strategi Fast Break atau Tekanan Politik?<br />
</strong><br />
Konon semenjak nama – nama calon Kapolri beredar, suasana internal di tubuh Kepolisian mengalami turbulensi yang luar biasa. Friksi – friksi tecipta didalam korps Bhayangkara negara ini. Sejumlah preseden, seperti bocornya cerita tentang daftar rekening gendut sejumlah perwira tinggi menjadi tudingan bahwa pihak – pihak yang mengincar jabatan mulai memainkan kartu. Belum lagi rajinnya aksi lobi ke partai – partai politik untuk memastikan preferensi para wakil rakyat tidak salah alamat. Ini karena DPR memiliki peran yang signifikan dalam menentukan lolos tidaknya calon yang diajukan Presiden. Terakhir kabarnya dalam peta dukungan di komplek Senayan, baik Nanan maupun Imam telah mengantongi dukungan fraksi – fraksi tertentu. Nah, dalam pada itu, mungkin nama Ito yang tadinya sudah hampir dilupakan, diangkat kembali untuk menjadi penyeimbang, sehingga keretakan tidak benar – benar wujud sangat. Tetapi nampaknya itu dirasa masih tidak cukup, lantas munculah Timur Pradopo, kuda hitam berbintang dua yang sebelumnya tidak masuk hitungan dalam bursa calon. Apapun alasan utama sampai akhirnya Jendral berkumis tebal itu yang disorong ke Senayan, akan bijak kalau ditanyakan langsung ke si empunya keputusan, Presiden SBY. Mereka – reka juga hanya akan menimbulkan spekulasi yang pasti sumir. Lagi pula yang penting bukanlah menyanyakan alasan mengapa semuanya berhenti di seorang Timur. Mengapa? Karena tidak produktif. Sebab jelas – jelas sudah menjadi hak yang melekat pada Presiden untuk menentukan siapa yang terbaik menurutnya memimpin Polri. Pertanyaanya justru mengapa prosesnya seperti kerja Bandung Bondowoso atau Sangkuriang. Mengapa proses pemilihan dan pengajuan nama dikebut dalam satu hari?</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mungkinkah Presiden melancarkan strategi Fast Break atau pola penyerangan dalam permainan basket yang kental nuansa kejutnya? Fast Break adalah pola serangan yang dibangun tim dimana bola ada pada sisi mereka, entah karena habis kebobolan, atau berhasil menghalau serangan lawan dibatas ring. Strategi Fast Break dilakukan dengan membawa bola cepat ke depan dan membobol ring lawan, pada saat lawan belum sepenuhnya siaga membangun defense yang matang. Pola serangan kejutan ini bisa membuyarkan fokus lawan dan karenanya memiliki potensi besar untuk mencetak skor. Nah Timur, mungkin strategi Fast Break presiden. Tujuannya untuk menghalau wacana – wacana yang tidak diperlukan, yang mungkin akan mengganggu kelancaran proses suksesi. Juga menihilkan terjadinya manuver – manuver politik seputar pribadi tersebut atas alasan yang sama. Jadi di saat – saat injury time keputusan yang mengejutkan dieksekusi, tak berapa lama menjelang proses fit and proper test akan dilakukan. Lagi pula sosok Timur Pradopo sendiri tidak asing buat SBY. Mereka pernah bekerja dalam satu tim ketika melaksanakan tugas di Bosnia. Istri Timur dan Ani Yudhoyono juga terhitung dekat karena kegiatan dinas kedua orang tua mereka sebagai anggota TNI. Jadi bisa saja, nama Timur sudah ada dalam saku SBY, jauh sebelum gonjang ganjing calon Kapolri mengisi halaman – halaman media atau perbincangan kasual di forum – forum cyber. Meski begitu, sepertinya mengkritisi langkah ini menjadi sangat wajar. Dalam UU nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 11 ayat 6 disebutkan : “Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier” yang kemudian dijabarkan dalam penjelasan dengan: “Yang dimaksud dengan “jenjang kepangkatan” ialah prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi dibawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri. Sedangkan yang dimaksud dengan “jenjang karier” ialah pengalaman penugasan dari Pati calon Kapolri pada berbagai bidang profesi kepolisian atau berbagai macam jabatan di kepolisian.” Maka naiknya pangkat Timur Pradopo secara mendadak, dihari yang sama namanya diajukan ke DPR menjadi terkesan “mengakali” syarat tadi. Tidak berjalan secara wajar. Ini memang bukan preseden pertama. Sebelumnya pernah tercatat dalam sejarah, bagaimana seorang perwira berpangkat Komisaris Besar, Soekarno Djojonegoro “melangkahi” para seniornya dan diangkat Presiden Soekarno sebagai Kapolri. Alasannya karena ada konflik antara sejumlah perwira dengan Kapolri kala itu yang akan menimbukan kerentanan pada aspek soliditas internal kepolisian. Tidak itu saja, Kapolri menjabat kala itu, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo melakukan pengabaian perintah resmi dari Presiden. Nah, jika presedennya ada, apakah kondisi saat ini sama gentingnya dengan ilustrasi era 1959 tadi? Saya tidak yakin. Jadi kalaupun nama itu (Timur) harus disimpan baik – baik, setidaknya keputusan terkait dengan kenaikan pangkat tidak di-combo dengan pencalonannya. Kesan yang mendadak dan tergesa – gesa seolah mengabaikan merit system yang seharusnya dibangun dalam tubuh organisasi pengawal keamanan negeri itu, yang hari – hari ini justru sangat dituntut sikap profesional dan penuntasan proses reformasinya. Siapa yang bisa menjamin bahwa hal serupa tidak terjadi lagi dimasa – masa yang akan datang, dan bukan untuk kepentingan pemilihan Kapolri. Pangkat bisa naik kapan saja tergantung kepentingan penguasa. Lalu sampai sejauh mana kewibawaan dan efektifitas Wanjakti nantinya ?</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Itu kalau memang nama Timur sudah disiapkan sejak semula. Yang dikhawatirkan justru keputusan dipenghujung itu disebabkan karena Presiden kepepet. Ancaman perpecahan yang mendalam, membuat rawannya memilih salah satu dari calon – calon yang sudah beredar. Padahal waktu terus bergulir, dan masa pensiun Bambang Hendarso didepan mata. Lagi – lagi bisa saja presepsi publik menyimpulkan adanya keragu – raguan dari Presiden dalam memutuskan. Kalau ini jadinya, ya mungkin ada benarnya istilah Neta S. Pane, Koordinator Indonesia Police Watch (IPW) yang menyatakan calon Kapolri baru adalah produk karbitan. Tetapi lebih miris lagi, kalau semua hal tadi berlangsung karena lagi – lagi adanya bargaining, bahkan tekanan politik. Keperihatinan yang lebih mendalam kita rasakan jika Polri menjadi obyek political struggle. Polri yang seharusnya bebas pengaruh politik, sehingga bisa dengan cepat berkonstrasi membenahi diri dan meningkatkan pelayanan publik justru masuk dalam pusaran perebutan pengaruh dan kekuasaan. Entah apa jadinya, kalau dalam menjalankan tugasnya nanti Kapolri juga terbebani dengan hutang – hutang politik sebagai imbal budi pamrih atas pemilihan dirinya. Entah Presiden merasa perlu atau tidak, namun rasanya kita boleh meminta penjelasan tentang apa yang terjadi dan alasan – alasan mengapa Timur yang dipilih dengan “cara” yang demikian esktrim. Kalau mau fair, Kapolri bukan hanya melayani Presidennya, tetapi melayani seluruh warga negara. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika masyarakat juga mendapatkan pemahaman, mengapa pemimpinnya menjalankan kebijakan itu. Kita inginnya ‘kan yakin, Presiden mengambil keputusan itu atas nama kepentingan dan mempertimbangkan kebutuhan akan rasa aman, terlindungi dan terayominya 230 juta lebih insan di Nusantara ini, bukan untuk kepentingan lain – lain. Apalagi rasanya perlu ada penjelasan yang memuaskan soal disangkutkannya nama Timur dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM, mulai dari Trisakti, Semanggi I dan II.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><strong>Sama Saja atau Beda?<br />
</strong><br />
Sesungguhnya, apakah itu Timur, Imam, Ito atau Nanan, yang kita tunggu adalah Kapolri yang bisa memberikan kepastian bahwa lembaga yang dipimpinnya benar – benar menjalankan tugas sesuai harapan dan berupaya optimal menuntaskan reformasi dalam tubuh Polri. Siap pun yang memimpin, diharapkan bisa mewujudkan cita – cita bangsa ini, memiliki Polisi yang berwibawa, tidak korup, tidak genit main mata dengan politik, anti mafia hukum, anti represi dan sederet lagi mimpi panjang kita akan sosok korps baju coklat itu. Lihat saja sepanjang era reformasi, masih banyak hal yang sudah terjadi di masa Orde Baru tetap subur terpelihara praktiknya sampai kini. Polantas menunggu di tempat tersembunyi, untuk secara mengejutkan menghentikan pelanggar lalu lintas dan menilangnya, dengan menyisakan opsi “damai” sebagai jalan keluar. Kita masih mendengar cerita salah tangkap orang – orang yang tak bertanggung jawab melakukan pelanggaran hukum, yang tetap merasakan dinginnya lantai bui. Cerita korupnya polisi juga masih kita temui dalam berbagai kasus. Padahal, sudah 7 Kapolri berganti sejak reformasi bergulir, toh hal – hal diatas tetap saja ada. Dapat dipahami jika banyak yang apatis dengan proses suksesi yang berlangsung, apalagi ditambah keputusan pemilihan Timur Pradopo yang manuvernya ala wahana rollercoaster itu. Apa akan ada bedanya, apakah akan ada perubahan yang drastis dalam performa polisi? Apakah peras, suap, intimidasi, korupsi akan benar – benar bisa ditekan pada taraf seminimal mungkin, kalau angka nihil menjadi seperti mustahil. Jika tidak, ya buat rakyat siapa pun sama saja.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terakhir, kita hanya bisa berharap kepada Pak Timur. Banyak harapan sesungguhnya. Agar polisi menjadi lebih baik pada citra dan performa. Cobalah Pak, tanya orang yang lewat, apa tanggapan mereka soal polisi, dengarkan mereka dan berupaya mewujudkan mimpi mereka. Polisi bukan pelayan penguasa, tetapi pelindung dan pengayom masyarakat. Dekati kami, cintai kami dan bela kami.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><em>Artikel ini diterbitkan pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi November 2010</em></div></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-37417885049563836692010-12-15T13:08:00.000+07:002010-12-15T13:10:38.659+07:00Maaf Bu, Aku Mati...Bu... <br />
Aku tinggalkan ini..beberapa baris kata, segumpal pedih dan sehayat cinta<br />
Aku mati, karena manusia menutup pintu bagi kelurusan hati<br />
Dunia menjadi wahana sekongkol paling kotor dari setan dan serakah<br />
Ketika manusia hanya bisa mengambil dan tidak bicara..<br />
Yang berbunyi buruk sangka dan menghina, lalu dusta<br />
Aku hendak teriak, tapi tuhan - tuhan membuat mereka mengatup mulutku rapat - rapat<br />
<br />
Bu, kalau aku mati jangan ceritakan kepada si kakak dan adiknya bahwa aku bunuh diri<br />
Karena bapaknya yang bandit kampung itu, akhirnya tiarap menunggu kereta malam lewat,<br />
mampus sebagai pengecut...<br />
Apa jadinya bocah ingusan sedari fajar sudah diajari rendah diri.<br />
Katakan saja bapaknya lari main gila dan tak kembali.<br />
Jadikan aku dendam mereka, sehingga mereka tak berbalik mendendam dunia dan Penciptanya<br />
Ajari mereka benar mengenal cinta<br />
<br />
Aku menulis ini untuk rembulanku satu<br />
Lelaki miskin kasih ini, telah meninggalkan yakinnya sejak lama <br />
Bahkan Yang Esa sudah kujadikan guru nestapa<br />
Tapi padamu aku percaya, dan sialnya pada diriku labuhan kecewamu<br />
Maka malu ini kubawa mati saja.. <br />
<br />
Maaf jika sengsara menjadi naungan kita semenjak aku menggamit tanganmu untuk berjanji <br />
Bahwa cita - cita yang memenuhi rongga dada, perlahan menyusut tertumbuk realita pejal<br />
Si miskin akan selalu miskin dan jujur adalah gerbang menurun undakan lara<br />
Kerja dan cinta hanya bagi mereka yang mendekap asa<br />
Sementara cita untukku sudah tersesap, jauh sebelum cinta mengulurkan tangannya<br />
<br />
Bu... <br />
Aku tinggalkan ini..beberapa baris kata, segumpal pedih dan sehayat cinta..<br />
Jaga si kakak dan adiknya..<br />
kenalkan mereka cinta, bahkan ketika cinta harus diperjuangkan<br />
karena ia tak akan hadir laksana udara yang tahu diri dan rela<br />
<br />
Aku pergi Bu...Selamat Tinggal...Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-40168497452581772432010-11-16T11:36:00.000+07:002010-11-16T11:36:54.436+07:00Karena Kau Bukan KamiKebenaran tidak punya versi...<br />
Kebenaran adalah milik kami, <br />
bukan kamu atau kalian<br />
Karena kau bukan dari kami, benar adanya kau tak pernah menjadi<br />
Mencaci tanpa berpikir, menjadi keseharian.. <br />
Ini bukan kritisi, ini bukan opini..<br />
Hanya sumpah serapah dan menista<br />
Kami tak mau mengenalmu dan kami benci<br />
Bukan karena kami paham, bukan kami tahu, bukan karena kami kau urapi dengan makna<br />
Tetapi semata hanya karena kau bukan kami<br />
Sobat kau tak akan, maka enyahlah segeraAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-49809525284663859882010-10-21T13:43:00.000+07:002010-10-21T13:43:45.738+07:00Merenungi Ginza<div style="text-align: justify;">Ginza adalah distrik bisnis dan belanja yang sering disebut Tokyo's Manhattan. Bukan apa - apa, ini karena 'tongkrongan' wilayah ini, sering mengingatkan orang dengan suasana jantung kota New York, Fifth Avenue. Tidak terlalu banyak hal yang istimewa yang saya temukan, sejak baru menginjakkan kaki dikawasan ini lima jam yang lalu, kecuali jika dibandingkan dengan Manhattan yang sesungguhnya kawasan ini lebih ramah. Buat saya sendiri, <i>downtown </i>NYC itu sangat agresif dan bengis. Tapi ada beberapa kenyataan yang saya temukan disini yang membuat saya tersenyum sendiri, apalagi jika membandingkannya dengan 'kampung halaman' Betawi. Ini salah satu contohnya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOFNKXN0SWtRfdg5Lu4FxlIjm73IxMx1oxe3Ml3wlsm6lw53961sAr4QndoRNQwSyuB9DblGJi2mNkDRftHYBm1zUv87mFiNprydjfwdeCCdASbKlYBQMDZykDR0Kwka4bdDiOmH1GXLPo/s1600/IMG00011-20101021-1355.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOFNKXN0SWtRfdg5Lu4FxlIjm73IxMx1oxe3Ml3wlsm6lw53961sAr4QndoRNQwSyuB9DblGJi2mNkDRftHYBm1zUv87mFiNprydjfwdeCCdASbKlYBQMDZykDR0Kwka4bdDiOmH1GXLPo/s320/IMG00011-20101021-1355.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tatakota yang apik, membuat Ginza, dan kebanyakan bagian dari Tokyo, berwujud blok - blok. Yah tak bedalah dengan Manhattan. Lihat orang - orang ini, dan lihat tanda larangan menyeberang diatas mereka. Jalan yang hendak mereka seberangi bukanlah jalan protokol, hanya pembatas antar blok saja. Tapi saya takjub melihat betapa disiplinnya mereka menunggu "jatah' menyeberang, meski tak ada satupun kendaraan yang lewat. Baru setelah lampu hijau tanda boleh menyeberang menyala, mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLMq4TSgw8L8BGD6HdoJ_fFKb3UPeo94vFV1q1l2wPOVBhvRRRhle6CYds5CzisLHhtIGYqpYqcemv9PD05mFC_74sTSfUquK33y5nsymGETzFst3rxJADe1-bO3N3rbmJS4nREn97EfLR/s1600/IMG00012-20101021-1356.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLMq4TSgw8L8BGD6HdoJ_fFKb3UPeo94vFV1q1l2wPOVBhvRRRhle6CYds5CzisLHhtIGYqpYqcemv9PD05mFC_74sTSfUquK33y5nsymGETzFst3rxJADe1-bO3N3rbmJS4nREn97EfLR/s320/IMG00012-20101021-1356.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalau di Jakarta, boro - boro tidak ada kendaraan, ada kendaraan saja diterabas meski lampu larangan menyeberang masih kinclong. Pengabaian, ketidakpedulian, keputusan untuk memenangkan kepentingan pribadi, terkalahkan dengan keyakinan bahwa menegakkan 'order' akan membangun kondusifitas yang berujung pada terciptanya kenyamanan bersama. Disiplin menjadi sikap Jepang yang membuat mereka bisa menjadi bangsa Asia yang unggul dan mampu bersaing dengan bangsa - bangsa Barat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghvNtFQT8PhiVmdk_UHWlr3VyQU-2Rj5HiZKAs7ZSuRpHspqPY-5jNqjWlDFdCaCjfIKk5ny9tYDV6_FDKOMqFJdEfj7n3WrvoiNaeahKTVEko564Gj3u6YalIdyVrrQa_eFhEopHcZOqZ/s1600/IMG00018-20101021-1418.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghvNtFQT8PhiVmdk_UHWlr3VyQU-2Rj5HiZKAs7ZSuRpHspqPY-5jNqjWlDFdCaCjfIKk5ny9tYDV6_FDKOMqFJdEfj7n3WrvoiNaeahKTVEko564Gj3u6YalIdyVrrQa_eFhEopHcZOqZ/s320/IMG00018-20101021-1418.jpg" width="320" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Barisan sepeda - sepeda <i>Onthel </i>ini juga membuat saya tergelak. Disaat saya tengah nafsu - nafsunya menabung untuk bisa membeli sepeda lipat yang canggih dan <i>fancy</i> seharga 'bebek matic' terbaru (bahkan lebih), agar terlihat mengikuti pola gaya hidup sehat dan pro lingkungan bersih, lah..disini semuanya pakai sepeda <i>Onthel</i>. Yang pakai pesawat sederhana tenaga genjot ini, bukan kelas - kelas OB atau pesuruh loh, tapi para eksekutif. Nih buktinya...</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigN6oY7OL9Z4W-CPVfftzjoGvQKeQn1O9dnVWzOf0ywn07jMMmc2NSFizvpHZoM4n9epBW0mnCJE-kmC6AM9wjITDxQCxCEUZstvU7Reznju43N4dG_9a90cbiDVIN8YYh7N_Ra0nSYuk-/s1600/IMG00019-20101021-1418.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigN6oY7OL9Z4W-CPVfftzjoGvQKeQn1O9dnVWzOf0ywn07jMMmc2NSFizvpHZoM4n9epBW0mnCJE-kmC6AM9wjITDxQCxCEUZstvU7Reznju43N4dG_9a90cbiDVIN8YYh7N_Ra0nSYuk-/s320/IMG00019-20101021-1418.jpg" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUvl9xyput3bHeB3uD29DR94bqjx6JNC4e-HUwJwy5ttiM-aQMkp_iGwU4Gnw1SXlwZWG56npESCRtWDG-T_CG8Pem2QE6e_R2BXx-kWRm-rQthgQJb5iqKO4JKMk22zHpTv-linMoY1E3/s1600/IMG00024-20101021-1440.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUvl9xyput3bHeB3uD29DR94bqjx6JNC4e-HUwJwy5ttiM-aQMkp_iGwU4Gnw1SXlwZWG56npESCRtWDG-T_CG8Pem2QE6e_R2BXx-kWRm-rQthgQJb5iqKO4JKMk22zHpTv-linMoY1E3/s320/IMG00024-20101021-1440.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sorry gambarnya tidak sempurna (namanya juga amatir, dengan alat jepret dari telepon genggam), tapi terlihatkan, siapa yang mengendarainya. Saya jadi tersindir, malu dan geli sendiri. Lah, mau sehat, mau udara bersih atau mau pamer sih saya. Naik sepeda seharusnya beranjak pada semangat efisiensi, tetapi niat memperolehnya justru untuk memperbaiki gengsi. Wehehehe....</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lalu yang ketiga ini....Ini yang membuat saya ngiri...</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgog_P9sz5xDPTaEteBNsV0bovTEtt6FT-iFqruMKXfTZSWyR2xwqGsnjclbTkIrD4bPCU8T0Hu_DcU1tnqQjMzbd9GsqRlpCZbtl_Slc-hjfqrZV3HzaiWsFYkPS_Gd_absn_Lq8rmRvzb/s1600/IMG00017-20101021-1415.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgog_P9sz5xDPTaEteBNsV0bovTEtt6FT-iFqruMKXfTZSWyR2xwqGsnjclbTkIrD4bPCU8T0Hu_DcU1tnqQjMzbd9GsqRlpCZbtl_Slc-hjfqrZV3HzaiWsFYkPS_Gd_absn_Lq8rmRvzb/s320/IMG00017-20101021-1415.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemewahan buat pejalan kaki. Trotoar di kedua sisi jalan utama selebar tiga mobil parkir ini, entah kapan bisa ada di Jakarta. Yang tentu saja (kalau ada) tanpa kios tukang rokok, tenda tukan pecel lele dan rombongan ojek. Di kampung, kemewahan hanya milik para pengendara kendaraan bermotor, sedangkan pejalan kaki benar - benar marjinal. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Membandingkan Ginza dengan Sudirman-Thamrin rasanya tidak kelewatan, kalau ada yang berpikir begitu. Bukan fisik yang saya perbandingkan sesungguhnya, tetapi tentang sikap mental, kesadaran dan niat. Itu semua sama sekali tidak ada hubungannya dengan ukuran - ukuran ekonomis dan pragmatis yang bisa diukur secara materi. Udah dulu ahh, nanti lanjut lagi ya....</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLDkHUy1Hv1MLRVG8PdNc0qMNF6b_ZOnsbBG19JE61q0HeVodhLnJT1OTrQAkL6tVHNvOZswdSo2nImITw6oGcoPWIcffD79XnmpycuEiOL4N5o8R6KID8PlVnjgLkOhIS4VU51qMxWQFz/s1600/IMG00010-20101021-1334.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLDkHUy1Hv1MLRVG8PdNc0qMNF6b_ZOnsbBG19JE61q0HeVodhLnJT1OTrQAkL6tVHNvOZswdSo2nImITw6oGcoPWIcffD79XnmpycuEiOL4N5o8R6KID8PlVnjgLkOhIS4VU51qMxWQFz/s200/IMG00010-20101021-1334.jpg" width="200" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-28258422190908478622010-10-12T14:31:00.000+07:002010-10-12T14:31:18.882+07:00Public Sphere Itu Bernama Twitter<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.tvone.co.id/blog/alfito.deannova/files/2010/02/images1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="images" border="0" class="aligncenter size-full wp-image-112" height="122" src="http://www.tvone.co.id/blog/alfito.deannova/files/2010/02/images1.jpg" width="122" /></a></div>Pernahkah anda suatu ketika bertemu dengan seseorang, yang tidak anda kenal, belum pernah anda lihat sebelumnya, ketahui sepak terjangnya, tapi dia mengenal anda. Ya, mengenal anda...? Pernah barangkali, beberapa kali. Ok, sekarang coba anda ingat, dalam perjalanan hidup anda sampai saat ini, berapa diantara mereka tadi, yang berinisiatif menegur terlebih dahulu itu, melancarkan komunikasinya kepada anda dengan mencaci –maki. Mereka menghakimi anda, baik karena perilaku anda, pendapat anda, atau sekedar hanya karena gaya anda berbicara. Kalau tidak mencaci – maki, setidaknya nyinyir, apriori atau sinis. Kembali ke pertanyaan semula. Berapa kali? Tidak banyak rasanya kan? Mengapa demikian? Ini karena adanya <i>psychological barrier</i> yang agak sulit dilalui, dalam konteks komunikasi tatap muka. Kesungkanan dalam berkomunikasi ini terjadi, karena mereka tidak mengenal anda secara langsung, mereka segan dengan anda karena mungkin dalam strata yang mereka bangun dikepala, anda lebih “tinggi” dibanding mereka. Mungkin juga karena penampilan anda “intimidatif.”</div><br />
<div style="text-align: justify;">Beberapa bulan terakhir ini, saya cukup aktif bersosialisasi di situs jejaring sosial Twitter. Disini, saya memperoleh kesempatan berjumpa dan berinteraksi dengan banyak sekali pihak, yang dalam dunia nyata belum tentu dapat peluang yang sama. Alhasil, apa yang disebut networking lumayan terbangun. Adib Hidayat, managing editor Rolling Stone meminta saya menulis untuk majalahnya. Konsultan karir Rene Soehardono, memberikan kehormatan kepada saya untuk mengomentari bukunya yang brilian, tentang bagaimana menjalankan kerja dengan hati. Bahkan ada seorang yang sangat saya segani, dan tokoh pemerhati demokrasi yang menawarkan saya untuk bekerjasama dalam ranah politik. Sungguh, begitu banyak kesempatan yang diperoleh, dan ini belum tentu bisa terjadi dalam dunia tatap muka.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Namun disisi lain, sungguh twittuniverse adalah juga belantara yang kejam. Tiba – tiba ada seseorang yang tak saya kenal berteriak – teriak @mentioning saya. Memaki – maki saya yang kerja di tvone ini sebagai antek pemilik, agen haram kepentingan kekuatan politik yang hendak menggulingkan sejumlah pihak, anti sosial terhadap korban – korban lumpur Lapindo. Atau ‘meludahi’ saya dengan kata – kata pedas, karena ketidakbecusan memandu acara secara berimbang, objektif dan merdeka. Awalnya semua ini membuat saya terkejut – kejut, geram dan hampir frustrasi. Saya tidak pernah memliki <i>reserve</i> untuk menghadapi hal – hal macam ini. Bukan cengeng, tetapi kaget. Bagaimana batas – batas kepatutan dalam komunikasi, yang biasa kita adopsi dan terapkan dalam komunikasi konvensional tidak ada gunanya di Twitter. Awalnya saya mencoba berekasi, mencoba menyampaikan tanggapan balik secara serius. Lama – kelamaan saya sadar, itu sia – sia belaka. Langkah yang paling bijak adalah mengabaikannya. Ya kalau taraf "menggangunya" sudah sampai keubun – ubun <i>block</i> saja. Ada yang marah –marah saya <i>block</i>. Entahlah, mungkin dia sudah sangat orgasmus, karena saya selalu berbaik – baik menanggapi caci – makinya. Dia pikir saya tong sampah yang nggak punya emosi hehehe.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Manusia akan bisa begitu berbeda di dunia maya. Mereka yang sesungguhnya minderan, <i>introvert</i>, kikuk di dunia nyata, bisa begitu artikulatif, luwes dan supel dalam pergaulan di negeri <i>cyber</i>. Mereka yang tadinya tak punya keberanian menyampaikan protes, dapat meledak – ledak dan menjadi begitu militan dalam menyampaikan ide. Tentu selalu ada dampak positif dan negatifnya. Tetapi lagi – lagi akomodasinya atas aspirasi begitu besar. Anda yang tadinya tidak akan didengar jika berbicara di alam nyata, bahkan bisa menjadi ‘nabi baru’ yang mencerahkan buat para <i>follower</i> anda, sekalipun sesungguhnya anda adalah <i>no one</i>. Begitu berkhasiatnya wahana komunikasi baru ini, tak jarang bahkan membuat kita melakukan pengabaian atas komunikasi konvensional. Kita lebih asyik berbicara dalam senyap melalui internet, ketimbang beradu bunyi dengan orang – orang disekeliling kita.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Jika selama ini, media massa konvensional, tidak bisa menghadirkan ruang publik (public sphere) secara sempurna, maka media baru (internet salah satunya) menjamin itu. Ada semangat leberalisme yang begitu kuat, sekat – sekat kasta dan strata menjadi begitu cair dan lepas. Faktor – faktor ini menyebabkan dari situs jejaring sosial merupakan wahana yang mungkin dalam berbagai upaya pergerakan sosial pula. Apakah philanthropic sifatnya, sampai politik revolusioner. Mungkin kalau di zaman Che twitter sudah ada, dia tidak akan masuk ke Bolivia dan berjuang membebaskan tanah air asing lain setelah Kuba dari tirani. Atau Gandhi tidak perlu menyaksikan pengikutnya digebuki polisi untuk menerapkan praktek perlawanan tak bekerjasamanya. Ini baru asumsi, tapi potensi untuk terlaksananya hal tersebut, indikatornya sangat kuat.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><i>But i reckon, the big and best part of it hasn’t yet to come. Soon i suppose</i>. Siapa yang akan membuktikan dan menunjukkannya kepada kita. <i>That revolt is on by cyber propaganda</i>.</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-86044954413098705272010-10-06T13:08:00.000+07:002010-10-06T13:08:57.759+07:00Menghalalkan Infotainment<div style="text-align: justify;">Belakangan ini sorotan tajam terhadap infotainment mengalir deras dari berbagai elemen masyarakat. Berbagai polemik melingkupi genre program televisi yang mulai marak digandrungi penonton sejak era 90-an itu. Terakhir, Majelis Ulama Indonesia pun telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan muslim menontonnya. "Menceritakan aib, kejelekan, gosip, terkait pribadi orang lain hukumnya haram," kira – kira begitulah bunyi dalil tersebut. Sebenarnya, tidak hanya MUI saja yang mengambil sikap terhadap infotainment. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan, dalam beberapa posisi, sejalan dengan MUI, bahkan tak kurang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan dukungan penuh. Jadi, haruskah infotainment kita hapus dari khasanah perbendaharaan program televisi di tanah air?</div><br />
<div style="text-align: justify;">Ada tiga poin penting yang menjadi rujukan pihak – pihak pro pembumihangusan siaran infotainment: Pertama, Infotainment dianggap bukan produk jurnalistik, cenderung meruapkan berita simpang siur dan gossip. Kedua, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan infotainment memiliki misi serius dalam mengedukasi penontonnya. Materi yang disajikannya tak lebih dari eksploitasi budaya penggemar, yang gandrung buta terhadap sosok idola. Ketiga karena tayangan ini memanjakan kebiasaan bergunjing, memfitnah dan menguak lebar aib pribadi selebriti sampai mendalam, disaat publik sesungguhnya tidak memiliki hak disana.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Atas dasar alasan – alasan diatas, haruskan infotainment diharamkan dan pemusnahannya menjadi benar – benar jalan yang terbaik?</div><br />
<div style="text-align: justify;"><strong>Infotainment Bukan Produk Jurnalistik?</strong></div><br />
<div style="text-align: justify;">Salah satu alasan utama yang membuat banyak pihak menghendaki agar infotainment dihentikan adalah keraguan bahwa jenis tayangan ini merupakan produk jurnalistik. Ini bertolak dari keyakinan para praktisinya sendiri, yang meyakini bahwa kerja mereka adalah membuat berita dalam ranah hiburan. Sayang, dalam realitas yang tampak pada layar kaca ternyata tidak demikian adanya. Terkadang satu paket berita hanya berisi wawancara seorang narasumber, sebagai konten utama. Gambar – gambar yang mengisi paket tersebut hanyalah dokumentasi si narasumber, atau obyek berita yang diangkat, yang tidak jelas aktualitasnya dan diambil entah kapan. Narasinya dibuat seprovokatif mungkin, dengan ilustrasi musik pop yang kontekstual, untuk menggiring opini penonton. Disinilah kemudian tudingan keras mengarah kepada infotainment sebagai produk berita yang abai terhadap kode etik jurnalistik. Para ahli dan pakar menyatakan tayangan tersebut berisi tak lebih dari kabar bohong dan gossip yang mengeksploitasi aib. Tidak ada kaidah kroscek yang diterapkan sebagai pakem. Perhatian secara serius terhadap aspek keberimbangan atau menjunjung tinggi kredibilitas informasi dengan menjaga keakuratan data juga terabaikan. Lalu, apakah semua infotainment melakukan hal tersebut? Tentu tidak. Ada yang tetap militan mempertahankan kredo mereka dan mengejawantah menjadi produk jurnalistik. Nah, kala begitu, apakah hanya infotainment yang melakukan kelalaian penerapan prinsip jurnalistik? Tidak. Masih ada siaran konvensional berita televisi, yang walaupun sporadis, gagal melaksanakanannya, yang seringnya adalah akibat kelalaian manusia. Maka, adilkah kita jika yang dihakimi dalam konteks pengabaian dan kelalaian dalam meenerapkan prinsip – prinsip jurnalistik semata – mata hanya infotainment?</div><br />
<div style="text-align: justify;">Saya percaya bahwa infotainment, jika itu bisa menjadi terminologi ajeg untuk program yang mengkompilasi berita dari dunia hiburan, adalah juga bagian dari hak masyarakat dalam memperoleh informasi. Bahwa kemudian cara dan gaya yang diterapkan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi tersebut salah, bahwa ketika kaidah atau prinsip – prinsip jusnalistik yang seharusnya diterapkan sampai saat ini masih terabaikan, itulah yang harus dicermati dan kemudian dikoreksi. Jadi jalan keluarnya bukan dengan melarang, menghapus atau mengharamkannya dengan setumpuk dalil – dalil moral, etika atau agama.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Jika pada akhirnya penayangan siaran infotainment dapat dihentikan, ini akan menjadi <em>preseden</em> yang mengkhawatirkan dalam konteks upaya penyebaranluasan informasi lewat media massa secara keseluruhan. Tidak mustahil, berhasilnya langkah penghentian tayangan infotainment, akan menjadi palang pintu bagi upaya pembredelan lainnya. Kedepan, atas dasar dalil – dalil yang entah apalagi, kekuatan - kekuatan kepentingan akan memanfaatkan <em>preseden</em> tersebut dan menjadikan genre informasi lain mengalami nasib yang sama. Lama – lama dunia jurnalistik kita akan kembali dikontrol, dan kebebeasan pers kembali menjadi jargon kosong belaka. "Tetapi infotainment bukan karya jurnalistik !" kata sebagian orang. Ok, kalau demikian, itulah yang selanjutnya menjadi tugas kita bersama. Infotainment tidak boleh lagi semata – mata menjadi komoditas untuk mencetak rating dan keuntungan yang miskin tanggung jawab. Rumah produksi tidak lagi dapat semata – mata menjadi mesin bisnis, tetapi menjadi lembaga – lembaga pers yang dijalankan secara profesional, dimana pekerjanya menjadi insan pers paripurna, lengkap dengan pemahaman tentang apa dan bagaimana kerja jurnalistik itu. Begitu juga dengan stasiun televisi yang menayangkan. Mereka harus melakukan supervisi ketat terhadap produk yang dibeli, serta menganalisis dampak serta pengaruh yang mungkin timbul dari tayangan tersebut bagi para penonton. Diluar itu semua, tanggung jawab untuk “meluruskan” infotainment ke jalan yang “benar” sesungguhnya, tidak berhenti hanya kepada pemilik rumah produksi, pekerja infotainment dan televisi yang menyangkannya, tetapi seluruh elemen bangsa. Termasuk para pesohor jagad hiburan yang menjadi sumber utama infotainment dan masyakarakat…ya kita – kita ini.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><strong>Infotainment Tidak Mendidik?</strong></div><br />
<div style="text-align: justify;">Alasan kedua mengapa Infotainment harus dihentikan penayangannya adalah karena program ini tidak bermuatan edukasi, tidak mendidik dan melecehkan hak pemirsa untuk memperoleh tayangan berkualitas. Ahh…, mari kita sebagai pemirsa juga melakukan refleksi. Mari dengan jujur mengevaluasi tayangan televisi secara umum dengan program - program kiwarinya. Berapa banyak sih yang mendidik? Kalau mendidik berapa sih ratingnya? Jangan - jangan kemudian kita jugalah yang memilih dan membesarkan program - program yang tidak edukatif itu?</div><br />
<div style="text-align: justify;">Fakta yang ada di atas meja sekarang menggambarkan, tidak banyaknya program edukatif yang ada, disebabkan karena mimimbnya animo penonton. Dipaksakan pun, pilihan akhirnya berujung pada matinya program itu secara perlahan. Sementara diberbagai kesempatan, selalu disuarakan pentingnya stasiun – stasiun televisi menjaga mutu program, sehingga unsur edukasi yang bernilai tinggi menjadi prioritas untuk membentuk konten. Walau banyak sekali wacana seperti itu, relitasnya sungguh jauh berbeda. Mari kita cermati dua contoh berikut. Pertama. Syahdan, ada sebuah stasiun televisi yang berkeinginan fokus menyiarkan program – program dibidang pendidikan. Apa ayal, tak ada yang nonton. Tak ada yang nonton, tak ada rating. Tak ada rating, tak ada iklan. Tak ada iklan ya bagaimana bisa hidup? Dan karena tuntutan bisnis, serta upaya untuk <em>survive</em> dalam industri, bermetamorfosislah ia menjadi televisi hiburan. Kedua. Saat ini, ada dua televisi yang berkonsenterasi pada pemberitaan. Lepas dari segala kekurangan dan kelemahan yang masih dimiliki, secara jujur harus diakui, keduanya memiliki daftar perbendaharaan program yang relatif lebih edukatif, dibanding televisi lain yang ada. Kenyatannya, keduanya awet menduduki posisi buncit perolehan rating <em>all station</em>. Apa yang kemudian menjadi program favorit penonton? Hehe...komedi keprak¬-kepruk <em>styrofoam</em>, <em>script-directed reality show</em>, sinetron penuh linang air mata dan sebagainya. Pertanyaannya: Apakah program – program diatas termasuk yang berkualitas? Kalau infotainment harus dibrangus karena tidak mendidik, apakah dosa itu harus ditanggungnya sendiri? Infotainment haram karena tidak mendidik! Oke.., lantas bagaimana dengan program - program televisi lain yang sama atau lebih parah tak mendidiknya? Apakah mau diharamkan juga? Mau diberangus juga? Kan kalau mau <em>fair</em> begitu seharusnya.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Sekali lagi, sudah saatnya kita jujur pada keinginan dan apa yang kita opinikan. “Membunuh” program televisi sangat mudah sesungguhnya. Tinggalkan saja, jangan ditonton. Abaikan, maka ia akan mati dengan sendirinya. Faktanyakan, berkali – kali kita menyatakan televisi memutar program – program yang tidak berkualitas, tidak mendidik, toh masyarakat tetap menontonnya, dan kalau mau jujur jangan – jangan justru menikmatinya. Sekarang sudah banyak rumah tangga yang menerapkan pola disiplin mengkonsumsi televisi. Bahkan ada yang ekstrim, tidak sama sekali memiliki pesawat televisi diruang keluarga. Jika budaya ini bisa kita jadikan <em>shock therapy</em> , kita pada akhirnya akan membentuk perilaku media dalam menyusun konten dan menerapkan agendanya. Butuh peran serta masyarakat penonton yang mandiri, cerdas dan tidak pasrah dengan dikte industri untuk kemudian tercipta pola pemrograman yang lebih baik dari yang sudah ada.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><strong>Infotainment Gemar Mengeksploitasi Aib?</strong></div><br />
<div style="text-align: justify;">Alasan ketiga adalah soal infotainment yang gemar menyebarluaskan aib dan kejelekan artis. Ini memang tidak <em>proper</em>, karena seharusnya media tidak boleh masuk ke ruang - ruang privat individu. Tetapi mengapa pers melakukan itu bagi para pejabat dan tokoh publik? Mengapa ada diskriminasi antara tokoh yang pejabat publik dengan selebriti? Kata kuncinya adalah <em>public intrest</em>, kepentingan umum. Pejabat publik melakukan kerjanya atas dasar kepentingan masyarakat, dan ia dibiayai negara dalam melaksanakan tugasnya itu. Salah satu sumber keuangan negara berasal dari pajak masyarakat. Jadi wajar jika pejabat publik benar – benar ada dalam pantauan radar pers, karena disini wartawan menjalankan kontrol sosialnya. Maka jadilah berita – berita tentang drama persidangan kasus korupsi atau kejahatan pidana lainnya yang aktor utamanya adalah petinggi - petinggi negeri ini, baik berskala lokal maupun nasional selalu mengisi layar pemberitaan. Begitu juga berita yang berisi skandal pereselingkuhan, poligami dan seterusnya. Ini seharusnya tidak berlaku untuk para selebriti. <em>Formally yes! But morally?</em></div><br />
<div style="text-align: justify;">Selebriti besar dan populer karena penggemar. Jadi meski tidak secara legal formal, publik adalah <em>stakeholder</em> mereka. Ya tapi itu berpulang pada selebritinya masing – masing. Namanya juga tanggung jawab moral, moral kan tidak ada polisinya. Namun kalau selebriti Indonesia mempertimbangkan aspek bahwa mereka menjadi <em>role model</em> jutaan manusia, bahwa mereka memberikan pengaruh besar kepada penggemar atas apa yang mereka perbuat, seharusnya ada filter yang efektif didiri mereka untuk mempertimbangkan dengan masak segala hal yang hendak mereka lakukan. Selebriti adalah tokoh, dan tokoh merupakan salah satu nilai sebuah berita. Jadi tidak salah jika media kemudian mengejar mereka, sebagai konsekuensi posisi sosialnya di masyarakat. Jangan ketika popularitas mereka nikmati secara ekonomis, tidak ada tanggung jawab moral kepada publik sebagai timbal balik.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Yang lucu belakangan banyak selebriti yang mengkritisi kerja infotainment. Infotainment dianggap sangat mengganggu dan mengintervensi kehidupan pribadi. Lah, mengapa bisa begitu? Ini, rasanya tak lepas dari<em> treatment</em> para selebriti sendiri terhadap mereka sejak awal. Di luar negeri, artis enggan bergaul dengan wartawan hiburan, karena tahu resiko yang akan mereka hadapi. Karena itu lahirlah spesies wartawan lepas yang agresif bernama <em>paparazzi</em>. Di Indonesia, <em>paparazzi</em> tidak laku, karena selebriti kita memang gemar ekspose dan sangat akomodatiif terhadap pekerja infotainment. Para selebriti bahkan sangat – sangat terbuka, mengajak infotainment kerumah mereka, membolehkan kamera merekam wajah anak – anak dan anggota keluarganya, yang buat selebriti diluar negeri benar – benar diisolasi, sehingga anak – anak dan keluarga mereka risih being in the spotlight atau tidak berada dalam ancaman kejahatan, penculikan misalnya. Tetapi di kita, semuanya serba terbuka. Sampai pada akhirnya masalah merundung. Baru kemudian, infotainment menjadi momok yang mengganggu dan menyebalkan. Itukan inkonsisten namanya. Kalau mau, ya sejak awal mengambil jarak, seperti yang dilakukan beberapa selebriti. Kalau pun tidak, ya jangan neko – neko.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Saya rasa, perlu ada koreksi antar kedua belah pihak, infotainment dan para selebriti. Kalau hubungan keduanya dijalin secara profesional dan hanya terbatas pada ranah profesi si pesohor, saya rasa tidak ada masalah. Nah..kalau ada yang terjerat hukum lain lagi ceritanya. Jangankan infotainment, media pasti akan mengejar anda. Kalau pembatasan di rahan profesional ini dapat dilakukan, sepertinya perihal berita kawin-cerai, selingkuh, putus cinta dan lain sebagainya tidak akan jadi topik yang dibicarakan meluas.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><strong>Haruskah Mengharamkan Infotainment?</strong></div><br />
<div style="text-align: justify;">Saya ada dalam posisi yang mendukung MUI. Tetapi saya menolak untuk mengharamkan Infotainment, saya lebih setuju kalau kontennya yang diharamkan. Ini artinya jangan “wadahnya” yang dibuang, tetapi ganti “isinya” dengan sesuatu yang layak dan tepat. Sekali lagi, perlu rasanya kita berpikir, bahwa kebebasan informasi adalah anugerah, karena itu jangan justru kita mencampakannya. Kalau pun setelah dianalis, diuji dan diputuskan ke-haram-an infotainment, mari kita berupaya untuk kembali menghalalkannya.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><em>Artikel ini diterbitkan pada Majalah Rolling Stone edisi September 2010</em></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-40398964091531908082010-08-19T03:35:00.000+07:002010-08-19T03:35:19.270+07:00The Prophet and I<div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">Bukanlah bagaimana kamu mendengar,</span></i></div><div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">melainkan bagaimana kamu mengerti</span></i></div><div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">bukanlah apa yang kamu lihat, </span></i></div><div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">melainkan apa yang kamu rasa,</span></i></div><div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">bukanlah bagaimana kamu melepaskan,</span></i></div><div style="text-align: center;"><i><span style="font-size: x-small;">melainkan bagaimana kamu bertahan</span></i></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJa14HH-csHJT1RclfDL0qt0meq9lx8HbhuPQCqd8Edctl6mumzcvvkTbT5KF09Gtf7B7qe84-4L9F1TTXUvKapAWyFIpnBTcAOGn-l7xbSSa53vZERzBqC4Eiwo9RTTD4eDggZU_-6YTC/s1600/IMG00097-20100815-1728.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJa14HH-csHJT1RclfDL0qt0meq9lx8HbhuPQCqd8Edctl6mumzcvvkTbT5KF09Gtf7B7qe84-4L9F1TTXUvKapAWyFIpnBTcAOGn-l7xbSSa53vZERzBqC4Eiwo9RTTD4eDggZU_-6YTC/s320/IMG00097-20100815-1728.jpg" width="320" /></a><i><span style="font-size: x-small;"><br />
</span></i><span style="font-size: small;">Buat saya, Khalil Gibran selalu menjadi guru dan inspirator. Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana seseorang memiliki pemikiran dan visi yang begitu mendalam tentang cinta dan kehidupan. Karena itu tidak membuang kesempatan emas yang ada, ketika saya mengunjungi Lebanon, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi museum Gibran di kota kelahirannya, Bcherry sekitar satu jam perjalanan dari ibukota Beirut. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
<i> </i></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Disinilah saya baru mengetahui jika ternyata sang peujangga terkenal ini, adalah juga seorang pelukis. Lukisan yang dihasilkan Gibran ratusan jumlahnya. Namun buat Gibran lukisan bersifat personal. Tak aneh karenanya orang lebih mengenalnya sebagai penyair ketimbang sebagai pelukis. Ia juga tidak menggantungkan hidupnya dengan menjual lukisan - lukisan tersebut. Selain alasan sentimentil yang personal ukurannya, alasan mengapa Gibran tidak pernah mempublikasi dan mengkomersilakan hasil sapuan kuasnya karena Gibran tidak pernah merasa lukisan tersebut rampung. Kalau penasaran seperti apa lukisan - lukisan itu, </span><span style="font-size: small;">dengan </span><span style="font-size: small;">mudah</span><span style="font-size: small;"> Mr. Google menunjukkannya kepada anda. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEwrrYZUkemvjNxrfiRIdDa0lI-bq7CqQ2iBCg6nrd4T8ULrfsynAqhrx0P6KlJGOtcu47Nk8vmwB39HjtxVr46agp_fm2xPgpZob1W1RlJotfR4Bf4Y4r_iYXBArOpkM6l92oeBGlbwHK/s1600/IMG00101-20100815-1733.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEwrrYZUkemvjNxrfiRIdDa0lI-bq7CqQ2iBCg6nrd4T8ULrfsynAqhrx0P6KlJGOtcu47Nk8vmwB39HjtxVr46agp_fm2xPgpZob1W1RlJotfR4Bf4Y4r_iYXBArOpkM6l92oeBGlbwHK/s320/IMG00101-20100815-1733.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: x-small;"><span style="font-size: small;">Dari semua ruangan dalam museum, yang paling berkesan untuk saya adalah lokasi makam. Disini jasad Gibran dimakamkan, seperti permintaannya kepada sang kekasih Mary Haskell. Jika anda melihat gambar disamping ini, dibalik batang pohon mati itulah letak peristirahatan terakhir Gibran. Mungkin untuk alasan kelestarian sehigga terhindar dari tangan - tangan jahil, makamnya tidak bisa dijamah oleh umum. Namun secara filosofis, Gibran sendiri menghendaki agar kita tidak pernah menganggap dia mati. Sebelum ia meninggal, ia sempat berpesan kepada Haskell, untuk menuliskan <i>epitaph - </i>rangkaian kata pada nisannya yang berbunyi :</span></span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><i> I am alive like you, and I am standing beside you.</i></span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><i>Close your eyes and look around, you will see me in front of you</i></span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: x-small;"><span style="font-size: small;">Mungkin terdengar klise apa yang disampaikannya itu, namun memang manusia sejatinya fana. Hanya karyalah yang tidak akan pernah lekang termakan zaman. Karya Gibran </span></span>memang terbatas, dan dibatasi oleh usia hidupnya. Namun memaknai karyanya menjadi pekerjaan yang tanpa batas, seperti menyelami laut yang tak terduga kedalamannya. Dan karenanya, saya akan selalu menjadi murid dari sang 'nabi'</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYjWYfW_tEi4oXVMZ_GaQcKlh3WAn-8MCOlCUAQ_eT8uqDLSgmnR4ZqaQ0FPu2jM-vBJ76Fp4iOjKFC1q71DFmxngaexUyJy5H8A6g2510-E7ATJKt3XTveO7UcYEg6Gv_0bPiNV7rNCVX/s1600/Khalil_Gibran_1908.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYjWYfW_tEi4oXVMZ_GaQcKlh3WAn-8MCOlCUAQ_eT8uqDLSgmnR4ZqaQ0FPu2jM-vBJ76Fp4iOjKFC1q71DFmxngaexUyJy5H8A6g2510-E7ATJKt3XTveO7UcYEg6Gv_0bPiNV7rNCVX/s320/Khalil_Gibran_1908.jpg" width="230" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-48381674942291991262010-08-02T13:57:00.001+07:002010-08-03T21:39:06.737+07:00Pak..jangan Mati !Pak..jangan Mati...<br />
Aku tak mau sendiri...<br />
Bahkan hidup bersisian denganmu saja sudah seperti mengayuh ombak terjang – menerjang dalam badai keraguan yang konstan<br />
Bertarung bersama menggaris nasib untuk bisa terus mendengar celoteh si bungsu dan meredakan rengekan kakaknya. <br />
Ketika adil adalah ikrar penghianatan dan peduli adalah dusta paling memuakkan<br />
Aku masih sanggup berjalan dengan telapak menjejak sembilu dan mata menatap matahari<br />
Karena aku bersamamu <br />
<br />
Pak...<br />
Aku tidak mau menangis penuh keluh seperti benalu. <br />
Bukan inginku jadi perempuan belatung yang hanya minta dikasihani<br />
Hidup dan manusia membuatku tidak punya kuasa, tak punya daya dan papa<br />
Aku juga mau mandiri, Pak!... tapi motivasi hanya jadi pengganjal kaki lemari<br />
Harap dan karsa ku juga sudah lama hilang, dimaling deraan zaman<br />
Karenanya kata aman hanya ada kalau aku melihatmu, walau kadang semu, kadang layu..<br />
<br />
Pak..Jangan Mati...<br />
Apa bisaku melawan iblis – iblis penghisap asa yang berdiri mengangkang<br />
Perempuan kecil, yang bersandar pada mungkin dan membuang jauh ingin<br />
Apa yang kubuat sendiri untuk bisa mendengar terus celoteh si bungsu dan meredakan rengekan kakaknya?<br />
<br />
Apakah ada kata kasih untuk tukang cuci didunia yang bengis ini?<br />
<br />
Jangan mati Pak, jangan mati<br />
Aku masih mau muntap padamu karena kulihat kau bercengerama genit dengan Suti, didepan salonnya tempo hari<br />
Aku cemburu karena kau bisa tersenyum untuknya, sementara untukku kita hanya berbicara dengan kening berkernyit dan mulut terkatup<br />
Kau tak pernah membelai dan menggoda<br />
Aku tak mau selalu jadi kawan hidupmu, aku juga ingin jadi kekasih pujaan hatimu<br />
Tapi mungkin untuk bicara cinta denganku kau sudah kehabisan energi<br />
Seolah – olah aku hanya terik yang meranggaskan pucuk – pucuk hasratmu<br />
Walau, aku ingin melolongkan protesku, aku diam<br />
Mungkin lebih baik begitu, ketimbang kau mati dan aku sendiri<br />
<br />
Tapi kau kini mati<br />
<br />
Kau katakan bosan miskin dalam cekcok terakhir kita<br />
Aku bilang beras habis, tapi kau membalas dengan menatapku nanar<br />
Bukan aku tak sanggup miskin Pak, tapi bahkan si miskin pun butuh makan<br />
Lalu kau tak pulang malam itu, sampai Pak RT mengabariku, tubuh kakumu terbujur dipinggir rel, dengan kepala menggelinding 10 meter jauhnya dekat ke pintu perlintasan.<br />
<br />
Apalagi yang bisa kukatakan Pak?<br />
<br />
Biarlah malam nanti aku mengintai takdir dimuka gang rumah kita.<br />
Akan kutikam dia dari belakang, sebelum sempat ia menatapku dan menyeringai dan menyunggingkan senyum mengejeknya.<br />
Lalu aku akan kembali kekamar kontrakan kita yang sumpek.<br />
Kutinggalkan bara untuk iblis – iblis mengangkang dilangit – langit<br />
Akan kubangunkan si kakak, dan menggendong sibungsu.<br />
Kami bertiga akan melarikan diri menuju kaki langit tempat terbit matahariAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-47853177648145382682010-07-28T16:44:00.000+07:002010-07-28T16:44:40.049+07:00Nyanyian Untuk BangsakuWhat better place then here?<br />
What better time then now?<br />
<br />
Keep your spirit in-tact<br />
For i will never let you down!Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-69413666743615899242010-07-26T11:54:00.000+07:002010-07-26T11:54:14.015+07:00Mahalnya Sebuah Pilihan<div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXWsLOyCZ-ihh-mz5WqsM2jghOPHNG3l_ItkRNF5vTIy-Os6VdZ2VQw7I38I8UY3NSIbt4TRF_Cja3ekvER38qUERwyJxlcal3783UB08J6Lro-YEKVbP5uwB5fP8D4duoy_1FDD1j1BLU/s1600/gambling+01.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXWsLOyCZ-ihh-mz5WqsM2jghOPHNG3l_ItkRNF5vTIy-Os6VdZ2VQw7I38I8UY3NSIbt4TRF_Cja3ekvER38qUERwyJxlcal3783UB08J6Lro-YEKVbP5uwB5fP8D4duoy_1FDD1j1BLU/s320/gambling+01.jpg" width="320" /></a></div><br />
Hidup adalah pilihan ! Kata-kata ini bosan rasanya kita dengar sepanjang hidup. Nyata sekali maknanya kerap terdengar klise. Apalagi kalau kondisi lagi <i>mentok</i> sana - sini. Contoh yang paling gampang saja, soal karir. Bahwa sering kali diantara kita merasa bahwa profesi yang dijalani tidak pernah disukai, tetapi demi mempertahankan eksistensi diatas dunia, agar tetap bisa bernafas, ya...., kita telanlah bulat - bulat semua ganjalan yang dirasa. Itu yang besar, yang kecil -kecil juga kita alami setiap hari tanpa ampun. Pilih naik tol atau arteri, pilih jalur kiri, tangah atau kanan, pilih merk HP, pilih provider tv berbayar, sampai yang remeh-temeh, memadupadankan busana. Tapi itulah hidup, kata orang bijak. Hidup adalah memilih. Proses memilih akan berhenti ketika badan berpisah dengan jiwa. Ini artinya pengambilan keputusan - keputusan sepanjang hayat atau pilihan, sesungguhnya adalah keterpaksaan.<br />
<br />
Karena pilihan akan selalu ada, maka langkah selanjutnya dalam menyikapi hal tersebut adalah bagaimana kemudian manusia menjadi arif dalam menentukan opsi. Ahh, disini jebakan <i>Batman </i>menghadang<i>. </i>Bagaiamana menjatuhkan pilihan dengan tepat? Bagaimana memastikan pilihan yang diambil memiliki tingkat kerugian yang paling minimal? Bagaimana pilihan (hampir) pasti memberikan nilai tambah ketimbang lebih sarat unsur <i>mudaratnya</i>. Hehehe...dasar manusia ya, ogah rugi. Padahal dalam ilmu ekonomi sudah dijelaskan, kalau mau untung besar, harus siap terima resiko yang besar juga (risk/return trade off). Diagram dibawah pasti bisa menjelaskannya dengan lebih logis.<br />
<div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcrcZkr8y8Ji9esqA97Xur6s76JSNhfgZvlOTtw9j1twg7-HgHvO7YlHpUhmOOooKX42HVJQcJEYhuTDD4qE7R3irbwKPaH_4iCQiso022L8NzthrDRMMBg5wVeGYxWDpzSiB5O0f9O_4e/s1600/concepts1_riskreturn.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcrcZkr8y8Ji9esqA97Xur6s76JSNhfgZvlOTtw9j1twg7-HgHvO7YlHpUhmOOooKX42HVJQcJEYhuTDD4qE7R3irbwKPaH_4iCQiso022L8NzthrDRMMBg5wVeGYxWDpzSiB5O0f9O_4e/s320/concepts1_riskreturn.gif" /></a></div><br />
<br />
Jadi intinya, memilih berarti harus juga siap dengan segala konsekuensinya, sebab kalau berani untung, juga harus berani rugi. <i>so there's no such tihing as always win</i>. Mungkin kalau ada <i>hoky</i>, lantas kita mencari pembenaran dari upaya kita untuk terus tepat dalam memilih. Yah... yang namanya "Luck" atau "Peruntung" seharusnya jangan dijadikan opsi buat kita - kita ini yang mengaku rasional. Iya kan?<br />
<br />
Nah, penjelasan awal ini, hendak saya jadikan bantalan untuk bicara tentang runyamnya dunia pilihan itu, dan bagaimana beragamnya sikap manusia dalam menentukan pilihan. Pernah kenal nama Jessica Steinhauser? Ahhh..kalau saya sebut <b>Asia Carrera</b>, mungkin ada beberapa diantara anda yang kenal. Dia adalah seorang <i>pornstar </i>yang melejit - lejit karirnya di era 90-an. Asia bukan perempuan bodoh yang hanya mengadalkan kemolekan tubuh yang menggoda syahwat lelaki untuk kemudian mendapatkan uang melimpah. Perempuan ini ber IQ 156, relatif tinggi untuk ukuran manusia. Ia tercatat sebagai anggota <i>Mensa</i>, organisasi yang beranggotakan mereka - mereka ber-IQ menjulang, setidaknya 2% peringkat teratas dalam ujian kepandaian yang telah disetujui. Asia anak yang pandai, tapi karena pilihan (walau dikatakannya pilihan untuk menjadi bintang porno, setelah sebelumnya menjadi PSK dan penari bugil karena tidak tahan dengan tekanan orang tua) ia tidak dikenal sebagai seorang <i>pundit</i>, tetapi sebagai penglipur nafsu manusia.Tetapi kemudian ketika ia tidak memilih karir sebagai bintang porno, dia tidak menjadi Asia Carerra, yang dikenal, tersohor seantero jagat. Dia hanya akan menjadi Ms. Steinhauser, Dosen Calculus disebuah universitas entah dimana misalnya.<br />
<br />
Pilihan akan membawa kita menjadi diri kita sekarang ini. Iya, kadang - kadang kita mengatakan, " saya yang<br />
sekarang menjadi, karena tidak ada pilihan!". Wah, kalau saya lebih percaya itu sesungguhnya adalah dalih dari manusia yang justru sebenarnya tidak berani mengambil keputusan. Terlalu khawatir dengan resiko - resiko yang akan dialami (kalau tidak mau dikatakan pengecut), yang belum tentu juga akan nyata. Mengatakan "tidak ada pilihan !" sesungguhnya menjadikan seseorang permisif terhadap keengganan diri untuk mau bergulat lebih keras dan menentang hidup, lalu mengatakan "inilah takdir!"<br />
<br />
Bayangkan, jika seorang Soekarno tetap pada profesinya sebagai arsitek, dan mengatakan tidak mungkin berpolitik menentang kolonial, karena akan membentur tembok, masuk penjara, diasingkan dan seterusnya, kita tak akan mengenalnya sebagai presiden pertama Indonesia. Jika Ernesto Guevvara, tidak menjatuhkan pilihan hidupnya sebagai seorang revolusioner sejati, dan tetap menjadi dokter sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya di kampus, maka kita tidak pernah mengenal sosok kharismatik bernama "Che". Padahal dia bisa berkata, "aku orang Argentina, tidak ada hubungannya dengan Kuba, Bolivia, bahkan Congo. Aku bukan kadet yang diajarkan menjadi tentara yang siap berperang." Akan masih banyak lagi jika kita mau mengurai satu persatu contoh yang menunjukkan bahwa pilihan akan selalu ada, tergantung kemudian berpulang ke diri saya kembali, apakah bersedia mengambil kesempatan atau tidak. Sekali lagi pilihan tidak pernah bisa dihindari, ia bukan bukan opsi, tapi keharusan sebagai konsekuensi hidup manusia.</div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-47664198808037610302010-07-15T07:16:00.000+07:002010-07-15T07:16:08.324+07:00Bicara Soal Nasionalisme<div mce_style="text-align: center" style="text-align: center;"><img alt="id-lgflag" class="aligncenter" height="202" mce_src="http://www.tvone.co.id/blog/alfito.deannova/files/2010/07/id-lgflag-300x202.gif" src="http://www.tvone.co.id/blog/alfito.deannova/files/2010/07/id-lgflag-300x202.gif" width="300" /></div><br />
Kalau dipikir - pikir, banyak selebrasi nasional yang secara filosofis bertujuan utama guna menggalang persatuan diantara kita sebagai bangsa. Ada hari proklamasi untuk menyadarkan kita sebagai anak - anak sebuah negara bangsa, hari kebangkitan nasional agar kita tidak minder sebagai <i>inlander</i>, hari sumpah pemuda supaya kita sadar bahwa apapun warna kulit kita, bagaiamanapun lucunya logat bertutur kita, cara kita beribadat dan lain - lain tidak mungkin menghilangkan identitas komunal kita sebagai anak - anak negeri bernama Indonesia. Banyakkan? Tetapi, mari secara jujur kita tanya dalam diri, apakah benar kita telah menjadi Indonesia yang satu?<br />
<br />
Berbicara tentang persatuan tidak tuntas rasanya jika tidak berbicara soal nasionalisme, rasa kecintaan terhadap bangsa. Nuansa yang terbangun memiliki kecenderungan positif, sekelompok individu merasa memiliki kesamaan visi dan karenanya bersedia melupakan semua perbedaan berlandaskan sebuah kepercayaan kolektif sebagai satu bangsa. Percaya atau tidak, tanggapan negatif terhadap semangat nasionalisme ini, ternyata tidak sedikit. Einstein mengatakan <i>"Nationalism is an infantile disease. It is the measles of mankind."</i> Charles de Gaulle malah menegaskan <i>"nationalism, when hate for people other than your own comes first."</i> Mungkin ini dapat dipahami, karena perang dunia buat keduanya sungguh sangat memilukan. Dua perang dunia yang pernah ada terjadi karena bangkitnya rasa nasionalisme berlebihan yang berujung pada keinginan untuk mendominasi <i>nation</i> lain. Saya tidak bersepakat dengan keduanya.<br />
<br />
Ketidaksetujuan saya terhadap keduanya ada pada level kualitas nasioalisme. Menurut saya, perang dunia tidak disebabkan oleh <i>ultra nasionalisme</i>. Kecintaan dan pengagungan berlebihan terhadap bangsa, sehingga meremehkan bangsa lain. Untuk itu menurut saya, bicara nasionalisme rasanya masih tetap relevan sekarang.<br />
Nah, sejauh ini nasionalisme seringnya tak lebih dari barang dagangan partai politik. Kata nasionalisme jadi komoditas untuk meraup suara pemilih. Apa implikasinya kepada kehidupan berbangsa dan bernegara kemudian masih sungguh Gelap! Faktanya apa? Lihat saja ajang kontestasi politik dari Sabang sampai Merauke, marak diisi dengan kerusuhan dan kekerasan. Tidak lolos verifikasi, marah, unjuk rasa rusuh. Perhitungan suara kalah, ngamuk, bikin <i>goro - goro</i>. Lah, bapak - bapak, ibu - ibu kita ini adalah orang - orang yang <i>jualannya</i> adalah nasionalisme. Aneh kan?<br />
<br />
Pertanyaannya, apakah benar, kita sudah menjadi <i>nation </i>yang utuh? Apakah memang selama ini, semuanya adalah kepentingan aku, kami ketimbang kita? Kalau iya bagaimana Indonesia harus memulainya, sehingga kau, aku dan mereka tuntas membahas diri masing - masing, dan mulai memikirkan kepentingan kita semua? Semua yang utuh.... Semua yang IndonesiaAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-4948679881274351912010-07-15T07:13:00.000+07:002010-07-15T07:14:07.873+07:00Sukses !<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe_nB8FPpVENCFC5kiAD5vjbY2WpgcoOgyxcMOLapyaNDaxqSAR6u4VUP9N91sugJVS0D5pqbOPZ2Q1E7nDwSZwh6-hOjr4bkcDPPSIV_7MviJVxf9qH3QzsIKx8TX15_MZVOAUH-W4Wii/s1600/success.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe_nB8FPpVENCFC5kiAD5vjbY2WpgcoOgyxcMOLapyaNDaxqSAR6u4VUP9N91sugJVS0D5pqbOPZ2Q1E7nDwSZwh6-hOjr4bkcDPPSIV_7MviJVxf9qH3QzsIKx8TX15_MZVOAUH-W4Wii/s320/success.jpg" /></a></div><br />
<br />
Apa ukuran sukses sebenarnya? Apakah bergelimangnya harta dalam genggaman? Bombastisnya angka saldo rekening? Sesaknya daftar portofolio kepemilikan saham? Akumulasi jumlah properti yang fantastis? Apakah materi menjadi yang jadi tolok ukur keberhasilan?<br />
<br />
Atau sukses adalah ketika tiba pada puncak kejayaan dengan status yang menggentarkan manusia lain? Menggengam tampuk kekuasaan dengan status sebagai tokoh yang agung? Ketika semua orang yang bertemu menunduk hormat dan takzim mendengarkan, lalu mengamini setiap kata yang meluncur dari rongga mulutku? Sehingga ucapanku menjadi sihir buat mereka, menjadi perintah yang tak terbantahkan, menjadi sabda yang tak tertampik pengabulannya?<br />
<br />
Mungkin juga sukses adalah ketika saya menjadi begitu populer. Punya penggemar berjibun. Banyak tak terbilang insan memuja, ingin bertemu dan mimpi bertukar sapa. Hahaha...bahkan menjadikan saya dewa pada altar suci didalam kuil tersembunyi didalam lubuk hati mereka.<br />
<br />
Atau sukses itu, semua yang bersifat spiritual? Situasi dimana hati menjadi tenang dalam menjalankan hidup, karena yakin Yang Maha telah memberkahi saya dan saya ikhlas terhadap apa yang dikaruniakanNya?<br />
<br />
Apa sih sukses itu?<br />
<br />
Buat saya, sukses sesunguhnya adalah pertanda bahwa hidup manusia menjadi makin berarti. Manfaat mengurapi semestanya dan sejahtera menjadi kata yang tidak berjarak. Pertanyaannya kemudian, apakah sukses itu, status yang kasat mata atau semata berdimensi batiniah? Apakah sukses itu bersifat subyektif atau atas keabsahannya dibutuhkan syarat pengakuan khalayak. Apakah sukses menitikberatkan pada kondisi akhir atau pada proses?<br />
<br />
Apa sih ukuran sukses itu?<br />
<br />
Walau selalu kita menyangkal bahwa sukses tidak terukur lewat satuan – satuan materi, namun seringnya kita menganggap rangkaian ide tersebut klise. Hanya layak dikhotbahkan oleh begawan suci yang benar – benar mandul hasrat. Faktanya, ya indikator konvensional kesuksesan adalah harta, tahta dan pamor. Kalau tidak apa? Apa klaim yang paling faktual untuk menyatakan saya sukses selain apa yang dapat diindera? Kepuasan batin? “Ah...pembelan diri orang – orang yang tak mampu!” itu mungkin yang jadi ungkapan standar. Tetapi buat mereka yang sudah pada tataran esensi dan substansi, sukses adalah masalah batin. Bahwa sukses adalah apa yang saya rasakan, bukan apa yang saya kangkangi. Lalu bagaimana dengan standar umum? Kata orang – orang bijak ini, yang merasakan sukses itu saya, dan karenanya pendapat sayalah yang terpenting, bukan orang lain. Dengan begitu, sukses bukan soal kompetisi, tetapi substansi.<br />
<br />
Sampai dimana rasa menentukan batas, seharusnya cerita soal sukses menjadi sangat – sangat individual, bukan komunal. Ah.. mana bisa maju jika ukurannya diri sendiri. Bagaimana jika kita termasuk orang yang cepat puas? Boleh jadi. Tetapi rasanya optimis lebih baik ketimbang langsung tersuruk menjadi pesimis. Mungkin kunci jawabannya adalah strong self motivated Disni yang ditekankan bukan bagaimana bersaing dengan orang lain, tetapi bersaing dengan diri sendiri terlebih dahulu. Tuntaskan pada tataran internal, ketimbang selalu melihat kekanan dan kekiri. Misalnya orang yang mengikuti lomba lari. Ia akan terus berusaha mengejar posisi terdepan, karena itu menjadi batas keberhasilan. Jika sudah didepan masalah selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan posisi itu terus-menerus. Bayangkan kalau para pelari lain memiliki kecepatan 30 km/jam, maka targetnya adalah memastikan dia bisa berlari diatas kecepatan itu. Dengan mempertahankan kecepatan 40 km/jam saja maka masalah terselesaikan. Dengan mengandalkan kompetisi eksternal, barangkali di pelari bermental juara itu tak pernah mau mencoba kecepatan 65 km/jam. Mengapa? Karena ukurannya lingkungan. Buat apa berpayah - payah, lah wong lari 40 saja sudah juara kok?!<br />
<br />
Tetapi bayangkan jika si pelari beraing dengan dirinya sendiri. Memulai larinya dengan 25 km/jam, lalu karena sudah terbiasa maka meningkatkan kecepatannya menjadi 30 km/jam, terus dan terus dan terus. Maka batas menjadi tidak ada. Lagi-lagi itu kalau perangkat lunak sikap mental pantang menyerah dan motivasi dirinya begitu kuat. Selain menyelamatkan diri dari kehabisan energi karena penyakit hati (iri, dengki, syirik dan sejenisnya), dunia seolah tak berbatas.<br />
<br />
Sekarang, pertanyaan selanjutnya: Apakah sukses bertitikberat kepada destinasi atau pada proses. Pertanyaan ini menjadi penting, sebab sejak kecil kita selalu diajarkan untuk memilih tujuan yang sifatnya final. Mau jadi apa? Dokter, Pilot, Polisi, Pelukis, Pemusik, Bankir atau Tentara? Dalam membangun kereangka pandang tentang sukses, tanpa kita sadari, lingkungan mendidik kita untuk berpikir instan, dan ‘memaksa’ kita menyasar satu target akhir sebagai indikator kesuksesan. Bahwa sukses adalah ketika saya menjadi anu, ini atau itu. Kita tidak pernah didik untuk berpikir sistematis, strategis dan komprehensif atas status sukses kita. Sehingga pada akhirnya, tak banyak dari kita yang bisa memenuhi cita – cita masa kecil. Karena apa? Kita tidak berorientasi kepada proses, tetapi kepada tujuan akhir. Bagaimana mungkin saya bisa termotivasi mencapai satu tujuan, jika saya tidak tahu harus memulai darimana, dengan cara apa, dan yang terpenting apa landasan filosofisnya. Ujung – ujungnya hasil akhir adalah segalanya. Ini bisa membuat saya melakukan apapun untuk mencapainya, sebab saya kehilangan rambu dan roh perjuangan. Bukankah akan lebih elok jika saya untuk menentukan segalanya one step at the time, sehingga saya benar – benar memahami sedang ada dimana saya saat ini, apa yang tengah saya kerjakan sekarang dan setelah itu akan kemana, bagaimana caranya dan apa maksudnya.<br />
<br />
Hehehe...kok jadi seperti tulisan motivator ya? Percayalah sobat, saya tak mau menggurui. Tulisan saya yang pas-pasan di blog ini, merupakan buah dari apa yang saya pikirkan, dan menjadi pengingat pribadi. Jadi mohon jangan tersinggung, seperti saya belagu dan keminter ya. Have a nice life you allAlfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5493789481890618508.post-20224707584052372862010-07-05T19:13:00.000+07:002010-07-05T19:15:08.607+07:00Menjadi Orang Baik<div style="text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUzhMLAmBkr2jvHnwSEnMOg_UNSra1Iip6pnv5X6R46liWOtxnQYutPVVAvPQ7oy_ohCaJdvos1VDZ8YuD9TEwG4LGpGW1juCHdmn7UUjs6nftYsD38PK_lg2t5NrmO7DdhWge96acLD14/s1600/good+man.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUzhMLAmBkr2jvHnwSEnMOg_UNSra1Iip6pnv5X6R46liWOtxnQYutPVVAvPQ7oy_ohCaJdvos1VDZ8YuD9TEwG4LGpGW1juCHdmn7UUjs6nftYsD38PK_lg2t5NrmO7DdhWge96acLD14/s320/good+man.jpg" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;">Sudahkah anda menyaksikan film Saving Private Ryan? Film tersebut bercerita tentang sepasukan tentara Amerika Serikat dalam PD II, yang ditugaskan untuk mencari seorang prajurit bernama James Francis Ryan. Karena alasan kemansiaan, Ryan harus dicari, diselamatkan dan kemudian dipulangkan. Tiga kakaknya yang ikut berperang dimasa yang sama meninggal dunia. Karena itu tidaklah elok jika, si bontot James juga ikut gugur dalam tugas, dan tidak menyisakan sama sekali penerus keturunan bagi keluarga Ryan. Jadilah pasukan yang dipimpin Kapten Frank H. Miller (Tom Hanks) berjibaku dengan maut untuk menyelamatkan nyawa James (Matt Damon). Apa ayal, dalam perjalanan mereka akhirnya satu persatu anggota pasukan tewas, termasuk Kapten Miller. Pesan terakhir Miller kepada Ryan setelah tertembus timah panas tentara Nazi Jerman adalah "Earn this...!" Adegan kemudian beralih kemasa puluhan tahun kemudian, saat James tua berziarah ke makam Miller. Dalam potongan itu, James bertanya kepada sang istri yang turut menemaninya : "Tell me I have led a good life...., Tell me I'm a good man..." Sang istri kemudian menjawab "You are.."</div></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hari ini, saya tidak kembali menonton ulang film tersebut, tapi <i>ending</i> film yang saya ceritakan tadi kembali menggelayuti benak saya. Apakah selama ini, saya sudah berusaha sekuat tenaga menjadi orang baik? Apakah rasa syukur sudah saya <i>ejawantahkan</i> dengan menjalankan hidup dengan sebaik – baiknya? Atau justru saya menyia – nyiakannya. Puluhan tahun masa berlalu, jangan – jangan sesungguhnya saya telah melupakan betapa selaksa anugerah telah tercurah tanpa saya berterima kasih atasnya. Begitu banyak pengorbanan yang diberikan lingkungan dalam memungkinkan saya ada disini saat ini dan melakukan kegiatan saya, tetapi saya abai terhadapnya. Am i a good man?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Apa sih ukuran baik itu. Apakah standarnya harus obyektif? Artinya kalau orang lain tidak menganggap anda baik, sementara anda merasa telah berupaya sekuat tenaga untuk menjadi orang baik, itu artinya anda pembual, tidak tahu diri atau <i>gede rumangsa</i>? Tetapi kalau ukurannya subyektif, apa malah tidak lebih kacau lagi? Saya yakin anda dan saya memiliki kesamaan. Karena <i>virtue </i> sifatnya konvensional, maka orang baik itu haruslah merupakan pengakuan kolektif. Nah, sekarang pertanyaannya apakah “baik” itu bisa diengeneering? Lebih jauh, apakah bisa direkayasa? Karena kata kuncinya adalah pengakuan publik, maka bukankah yang terpenting adalah bagaimana kebaikan itu mendapat konfirmasi dari lingkungan, bukan apakah anda telah menjalankan hidup sebaik – baiknya dan karenanya menjadi orang baik? Bila begitu ceritanya, maka yang utama adalah bagaiamana kita meyakinkan orang bahwa kita baik dan <i>tool</i> yang paling efektif untuk itu adalah komunikasi. Jika begini, maka “baik” akan kehilangan kemurniannya. Lalu masihkah kejujuran punya nilai dibatas ini?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saya merasa, peran komunikasi dan interaksi menjadi begitu penting dalam konteks isu yang saya bicarakan ini. Sorry, ijinkan saya bertanya lagi (karena sudah begitu banyak kalimat tanya diatas). Jika seandainya ada orang yang terbaik diantara kita saat ini sebagai bangsa, tetapi hanya karena orang tersebut tak terkomunikasikan, maka dia tidak dan tidak akan pernah menjadi siapa – siapa? Bisa jadi. Apalagi jika dalam kecenderungan yang ada dalam pola komunikasi dalam komunitas kita saat ini terus – menerus terjadi. Tingkat ketergantungan terhadap <i>opinon leader</i> menjadi begitu tinggi untuk menentukan merah sebagai merah dan hitam sebagai hitam, tanpa setiap individu melengkapi diri dengan prakarsa mandiri pencarian kebenaran, maka kita akan tenggelam kedalam lautan stigma dan citra yang memabukkan, mengaburkan dan menyesatkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pernahkah anda ada pada posisi untuk menentukan dimana baik dan tidak baik menjadi begitu membingungkan?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div>Alfito Deannova Gintingshttp://www.blogger.com/profile/07224355417234411951noreply@blogger.com3